Kitabı oku: «Bangkitnya Para Naga», sayfa 15
Dari tempat setinggi itu, Kyra dapat memanah seorang demi seorang prajurit dengan leluasa. Ia membidik seorang Pasukan Pengawal yang hendak menebas punggung ayahnya dari belakang dengan sebuah beliung, dan Kyra memanah orang itu tepat di lehernya hingga ia roboh, tepat sebelum beliung itu ditebaskan ke punggung ayahnya. Kemudian ia mengincar seorang musuh yang tengah mengayunkan bola berduri, dan mengenainya tepat di rusuk sebelum senjata itu dihantamkan pada kepala Anvin.
Seiring panah demi panah yang dilesatkannya, Kyra berhasil merobohkan lawannya satu persatu—hingga akhirnya musuh melihat keberadaannya. Ia merasa sebuah anak panah berdesing melesat di dekat wajahnya, dan dilihatnya seorang pemanah lawan balas memanahnya. Sebelum ia sempat mengelak, ia terpekik karena rasa sakit bukan kepalang yang menderanya saat sebuah anak panah meggores lengannya hingga darah mengucur.
Kyra melompat turun dari pagar batu itu dan kembali ke tengah kerumunan. Ia berguling dengan tangan dan lututnya, lalu ia berlutut, nafasnya terengah-engah dengan lengan yang luar biasa nyerinya, dan ia melihat ada lebih banyak bala bantuan musuh maju ke jembatan itu. Ia melihat pasukannya terdesak, dan dilihatnya salah satu dari mereka yang berdiri tepat di sebelahnya, seorang prajurit yang ia kenal dan ia cintai, tertusuk di perutnya dan terhuyung-huyung berpegangan pada pagar batu, lalu jatuh tersungkur ke dalam parit, tak bernyawa.
Ketika ia masih berlutut, seorang prajurit yang garang mengangkat tinggi-tinggi kapaknya ke atas kepala dan hendak membacoknya. Ia tahu ia takkan sempat menghindar dan ia hanya bisa pasrah—tatkala Leo sekonyong-konyong menerjang dan menggigit perut prajurit itu.
Kyra melihat sekelebatan gerakan dari sudut matanya, lalu ia berpaling dan dilihatnya seorang prajurit lawan yang lain mengangkat tombak bermata kapak dan hendak menusuk belakang lehernya. Karena tak sempat mengelak, ia hanya bisa pasrah akan serangan itu dan bersiap menjemput ajalnya.
Namun tiba-tiba terdengar suara berdenting, dan dilihatnya bilah mata kapak itu tertepis ke sisi kanan kepalanya, lantaran tertangkis oleh sebilah pedang. Ayahnyalah yang berdiri di dekatnya dengan pedang terhunus, menyelamatkan nyawanya dari tebasan tombak bermata kapak itu. Ayahnya mengayunkan pedangnya berputar, memilin tombak itu lalu menusuk jantung prajurit musuh.
Namun gerakan itu membuat pertahanan ayahnya terbuka, dan Kyra melihat dengan penuh kengerian saat seorang prajurit lawan yang lain menyerang dan menusuk lengan ayahnya; ayahnya pun memekik dan terhuyung-huyung mundur oleh serangan itu.
Dan seketika itu juga saat ia masih tetap berlutut, Kyra merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya; semacam energi yang hangat, yang muncul dari ulu hatinya dan memancar ke seluruh tubuhnya. Itu adalah suatu energi yang tak ia mengerti, namun ia segera merasakan betapa energi itu memberikan tenaga baru dalam dirinya, mengalir ke sekujur tubuhnya, dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, mengalir ke pembuluh darahnya. Bukan hanya tenaga barunya yang bangkit, namun kini pikirannya pun lebih terpusat; ia memandang ke sekeliling, dan waktu seakan terasa melambat. Dengan sekali pandang, ia dapat melihat seluruh prajurit musuh, melihat segala kelemahan mereka, dan mengerti bagaimana cara membunuh mereka semua.
Kyra tak mengerti apa yang tengah terjadi padanya—namun ia tak peduli lagi. Ia meresapi tenaga baru yang mengalir dalam dirinya dan membiarkan dirinya dikuasai oleh getarannya yang hebat dan membiarkan energi itu menggerakkan dirinya.
Kyra bangkit berdiri dengan gagah, seakan seluruh musuh kini bergerak melambat di sekelilingnya. Ia mengangkat tongkatnya dan menghantamkannya pada kerumunan musuh.
Yang terjadi selanjutnya berlangsung dengan amat cepat, terlalu cepat hingga ia tak sempat memahami dan mengingatnya. Ia merasa tenaga baru itu menggerakkan tangannya, merasakannya memandu serangannya, ke mana harus bergerak, dan ia merasa bagai menyerang para prajurit musuh dengan gerakan yang tak mereka sadari hingga ia bisa memorakporandakan kerumunan musuh. Ia memukul sisi kepala salah seorang prajurit, lalu menarik dan menghantam tenggorokan prajurit lainnya; kemudian ia melompat tinggi dan kedua tangannya memukulkan tongkat ke kepala dua orang lawan di bawahnya. Ia memuntir dan memutar ujung tongkatnya bagai roda yang berputar untuk menembus barisan musuh, dan para prajurit pun berjatuhan di kiri dan kanannya, hingga terbukalah ruang bagi Kyra untuk bergerak maju. Tak seorang pun prajurit dapat menangkapnya—dan tak seorang pun mampu menghentikannya.
Denting tongkat berselubung besi di genggamannya yang beradu dengan baju zirah prajurit musuh bergema di udara, dan semua itu terjadi dalam sekejap mata saja. Baru kali ini ia merasa dirinya melebur dengan alam semesta; ia merasa seolah bukan dirinya yang menggerakkan tubuhnya—namun ia membiarkan dirinya dikuasai oleh energi itu. Ia merasa seolah tidak sedang berada dalam raganya sendiri. Ia tak memahami kekuatan baru yang muncul itu, dan itu membuatnya merasa ngeri namun sekaligus senang.
Dalam sekejap saja ia telah merobohkan semua Pasukan Pengawal di jembatan itu. Kini Kyra telah berada di ujung jembatan dan menghantam tepat di antara kedua mata prajurit terakhir yang berdiri di situ.
Kyra berdiri dengan nafas terengah-engah, dan tiba-tiba waktu kembali berjalan seperti biasanya. Ia memandang ke sekeliling dan melihat seluruh korban yang telah ia jatuhkan, dan ia sendiri jauh lebih terkejut daripada semua orang lain yang menyaksikannya.
Kurang lebih selusin Pasukan Pengawal yang masih tersisi di ujung jembatan yang satunya memandang pada dirinya dengan tatapan panik, lalu mereka berbalik dan berlarian, jatuh bangun tergelincir di atas salju.
Lantas terdengar sebuah teriakan, dan ayah Kyra memimpin anak buahnya menyerang, mengejar para prajurit yang lari tunggang langgang itu. Mereka menerjang membabi buta, ke kiri dan ke kanan, hingga tak ada lagi musuh yang tersisa.
Terompet pun dibunyikan lagi. Pertempuran telah usai.
Seluruh anak buah ayahnya dan seluruh penduduk desa berdiri di situ dan tertegun, menyadari bahwa mereka baru saja berhasil melakukan sesuatu yang tampaknya mustahil. Namun anehnya, tak ada teriakan gembira yang biasanya muncul setelah kemenangan diraih; tak ada sukacita dan tak ada yang saling berpelukan, tak ada pula pekik kegirangan. Suasana justru terasa hening dan muram; mereka telah kehilangan saudara seperjuangan terbaik hari ini, mayat-mayat mereka bergelimpangan di sekeliling, dan mungkin itulah yang membuat mereka hanya terdiam membisu.
Namun Kyra yakin ada sebab yang lebih dari itu. Bukan kematian itulah yang membuat mereka semua terdiam. Ia tahu, penyebabnya adalah dirinya sendiri.
Semua mata orang di situ berpaling dan tertuju padanya. Bahkan Leo pun ikut menatap dirinya dan ketakutan tersirat di matanya, seakan ia tak lagi mengenali Kyra.
Kyra masih berdiri dengan nafas terengah-engah, pipinya masih merah dan ia merasa mereka semua tengah menatapnya. Mereka memandangnya dengan takjub—sekaligus dengan sebuah tanda tanya besar di benak mereka. Mereka memandang seolah Kyra adalah seorang asing. Ia yakin bahwa masing-masing dari mereka menanyakan pertanyaan yang sama dalam diri mereka sendiri. Itu adalah sebuah pertanyaan yang juga ingin ia dapatkan jawabannya, dan sebuah pertanyaan yang paling mencemaskan baginya.
Siapakah sebenarnya dirinya?
BAB DUA PULUH SATU
Alec berulang kali terlelap dan terjaga selama berada di dalam kereta, terimpit di antara puluhan pemuda lainnya, sesekali ia bermimpi buruk. Ia bermimpi tengah terimpit di dalam sebuah peti mati yang penuh sesak oleh pemuda, dan penutup peti itu pun ditutup rapat-rapat.
Ia tergeragap bangun, nafasnya terengah-engah, menyadari bahwa ia tengah berdiri di dalam kereta itu. Kereta itu berhenti beberapa kali lagi dan semakin banyak pemuda yang dijejalkan di dalam kereta yang terus berlonjakan sepanjang perjalanan pada hari kedua itu, mendaki dan menuruni bukit, keluar masuk hutan. Alec terus berdiri sejak perkelahian itu terjadi; ia merasa lebih aman jika berdiri, dan kini punggungnya terasa pegal setengah mati. Namun ia tak lagi peduli. Ia merasa lebih mudah terlelap barang sebentar sembari berdiri, apalagi dengan adanya Marco di sampingnya. Pemuda yang tadi menyerangnya kini beringsut ke salah satu sudut kereta; namun saat ini, ia tak lagi memercayai siapa pun di dalam kereta itu.
Lonjakan kereta membangunkan Alec, dan ia lupa bagaimana rasanya berdiri di tempat yang rata. Ia teringat akan Ashton dan bersyukur karena setidaknya bukan kakaknya yang berada di dalam kereta itu. Rasa itu menjadi pelecut semangat baginya, dan membangkitkan keberaniannya untuk terus menghadapinya.
Sudah sedemikian jauh perjalanan itu namun tampaknya belum juga akan berakhir, dan Alec pun mulai putus asa, seolah mereka takkan pernah tiba di Benteng Api.
Waktu terus berlalu, dan setelah beberapa kali terlelap, ia merasakan sentuhan di pinggangnya. Ia membuka mata dan ternyata Marco yang membangunkannya, lalu memberi isyarat dengan gerak kepalanya.
Alec mendapati kegembiraan meliputi seluruh pemuda itu, dan kali ini ia merasakan sesuatu yang berbeda. Semua pemuda itu kegirangan saat mereka menolehkan kepala dan melihat dari sela-sela jeruji besi. Alec pun ikut menoleh dan melihat ke luar, namun pandangannya terhalang oleh kerumuman para pemuda di depannya.
"Kau harus melihat ini," kata Marco sembari memandang ke luar kereta.
Marco pun beringsut memberi tempat agar Alec dapat ikut melihatnya. Maka Alec pun melihat sebuah pemandangan yang takkan pernah dilupakannya:
Benteng Api.
Alec telah mendengar cerita tentang Benteng Api itu seumur hidupnya, namun tak pernah ia bayangkan bahwa benteng itu benar-benar nyata. Benteng itu adalah sesuatu yang sepertinya paling sulit dibayangkan; ia tak mengerti bagaimana mungkin Benteng Api itu bisa benar-benar ada. Bagaimana api bisa menjilat-jilat ke angkasa? Bagaimana bisa api itu terus menyala sepanjang waktu?
Namun kini setelah melihatnya sendiri untuk kali pertama, ia menyadari bahwa semua itu memang benar adanya. Dan ia pun terkesima. Jauh di kaki langit, Benteng Api berdiri menjulang tinggi persis seperti kisah yang diceritakan; benteng itu sungguh besar hingga ia tak dapat melihat di manakah ujungnya. Bahkan dari dalam kereta itu, ia dapat mendengar bunyi gemeretak apinya dan dapat merasakan hawa panasnya. Benteng itu sungguh memukau, sekaligus menakutkan.
Di sepanjang Benteng Api, Alec melihat ratusan prajurit, pemuda dan pria berjaga, tersebar setiap sekira seratus kaki jauhnya. Di ujung jalan di kaki langit, ia melihat sebuah menara batu hitam yang dikelilingi oleh berbagai bangunan kecil. Menara itu adalah pusat segala aktivitas di sana.
"Lihatlah rumah baru kita," kata Marco sembari mengamati.
Alec melihat deretan barak kotor yang penuh sesak oleh para pemuda yang lusuh. Perutnya terasa mual membayangkan sekilas seperti itulah nasibnya kelak, dan seberat itulah ia akan menjalani hidupnya.
*
Alec meneguhkan hatinya saat ia ditarik turun dari kereta oleh seorang mandor dari Pandesia, lalu ia pun terjerembab dengan keras ke tanah, bersamaan dengan para pemuda yang lainnya. Tubuhnya tertimpa para pemuda lain; dan saat ia berusaha untuk bisa bernafas lega, betapa terkejutnya ia mendapati bahwa tanah itu sangat keras—dan ternyata tanah itu tertutup pula oleh salju. Ia tak terbiasa dengan cuaca di wilayah timur laut ini, dan ia segera merasa bahwa baju tipis khas Midland yang ia kenakan itu tak ada manfaatnya di tempat ini. Sedangkan di Soli yang jaraknya hanya sejauh beberapa hari perjalanan dengan berkendara di atas kuda, tanah terasa lunak dan rerumputan tumbuh subur di atasnya; salju tak pernah turun di sana dan aroma harum bunga selalu semerbak di udara. Namun di tempat ini sungguh dingin dan keras, tak semarak—udara dipenuhi oleh bara api.
Alec berusaha melepaskan diri dari tumpukan tubuh para pemuda itu, dan tatkala ia hampir berhasil berdiri, punggungnya terdorong dari belakang. Ia pun terhuyung-huyung lalu berpaling, dan dilihatnya seorang mandor di belakangnya tengah menggiring seluruh pemuda itu bagai sekawanan ternak masuk ke barak.
Di belakang sana, Alec melihat puluhan pemuda lain turun dari kereta; dan betapa mengejutkannya bahwa ada beberapa pemuda yang terguling keluar dari kereta, tak bernyawa. Ia takjub betapa ia berhasil tiba dengan selamat meskipun harus berdesakan di dalam kereta. Sekujur tubuhnya terasa sakit, persendiannya kaku, dan tatkala ia berjalan, tak pernah ia merasa tubuhnya seletih itu. Rasanya bagaikan belum tidur selama berbulan-bulan, dan seolah ia baru saja tiba di ujung dunia.
Bunyi gemeretak terdengar nyaring di udara, dan Alec pun memandang ke atas, dan tampaklah Benteng Api, mungkin sekitar tiga ratus kaki tingginya, Mereka berjalan menuju ke benteng itu, dan benteng itu tampak semakin lebar membentang. Masing-masing dari seluruh pemuda itu merasa takjub saat menyaksikan benteng itu dari dekat, dan ia sendiri mengagumi panasnya hawa yang terpancar dari benteng itu seiring langkahnya yang kian mendekat. Namun ia juga bertanya-tanya seberapa panaskah jadinya jika ia berada dekat dengan benteng itu, seperti para penjaga yang berdiri dua puluh kaki jauhnya dari sana. Ia melihat para penjaga itu mengenakan baju zirah yang tak lazim. Namun demikian, toh beberapa penjaga pun tampak lemas dan hampir pingsan.
"Kau lihat api itu, kawan?" tanya seseorang dengan suara seram.
Alec berpaling dan dilihatnya pemuda yang berkelahi dengannya di dalam kereta itu berjalan menyusul di sebelahnya, sedangkan temannya yang satu lagi mengikuti di sampingnya sembari menyeringai.
"Jika kubakar wajahmu dengan api itu, maka takkan ada lagi yang mengenalimu—bahkan ibumu pun takkan mengenali. Akan kubakar tanganmu hingga tinggal tulang-tulangmu yang tersisa. Sayangilah apa yang kau miliki sebelum kau kehilangannya."
Ia tertawa dengan suara culas dan keji, dan terdengar mirip suara batuk.
Alec balas menatapnya dengan sengit, sementara Marco berada di sisinya.
"Kau tak dapat mengalahkanku di kereta, maka di sini pun kau takkan dapat mengalahkanku," balas Alec.
Pemuda itu terkekeh.
"Ini bukan di dalam kereta, kawan," katanya. "Malam ini kau akan tidur satu ruang denganku. Barak-barak itu adalah milik kami. Suatu malam nanti, di sebuah barak. Ini urusan antara kau dengan diriku. Entah kapan. Entah malam ini, entah besok—namun pada suatu malam yang takkan kau duga, kau akan tertidur dan kami akan mengerjaimu. Kau akan terbangun dengan wajah terbakar. Selamat tidur nyenyak," tukasnya sambil tertawa.
"Jika kau memang berani, tunggu apa lagi?" kata Marco di sampingnya. "Marilah. Kita coba saja."
Alec melihat pemuda itu tampak enggan saat ia melirik pada mandor Pandesia itu.
"Tunggu saja tanggal mainnya," balas pemuda itu.
Setelahnya, kedua pemuda itu pun menyelinap di antara kerumunan pemuda lainnya.
"Jangan khawatir," ujar Marco. "Kau bisa tidur saat aku berjaga, dan begitu pula sebaliknya. Jika kedua bedebah itu mendekati kita, aku akan membuat mereka menyesal."
Alec mengangguk mengiyakan; dalam hati ia bersyukur demi melihat keadaan barak itu dan membayangkan apa yang dapat terjadi di sana. Beberapa kaki jauhnya dari pintu masuk yang sempit, Alec mencium bau keringat yang masam dari dalam ruangan. Ia terlonjak saat tubuhnya didorong masuk.
Alec berusaha membiasakan matanya dengan barak yang gelap, yang hanya diterangi oleh seberkas cahaya dari beberapa jendela yang terletak tinggi di dinding. Ia memandangi lantainya yang kotor dan segera saja menyadari bahwa seburuk-buruknya kereta yang ia tumpangi, barak itu masih jauh lebih buruk. Ia melihat sederet raut muka curiga, wajah-wajah tak ramah dengan mata yang hanya terlihat bagian putihnya, dan semua tatapan itu tengah mengamati dirinya. Semua orang itu mulai memekik dan berteriak untuk membuat ciut nyali mereka yang baru saja tiba, dan untuk menegaskan wilayah milik mereka; maka barak itu pun segera saja riuh oleh teriakan bersahutan.
"Daging segar!" teriak salah satunya.
"Umpan untuk Benteng Api!" balas yang lain.
Alec merasa semakin cemas saat mereka semua didorong berdesakan ke dalam satu ruangan besar. Akhirnya ia berhenti dengan Marco di sisinya, tepat di depan hamparan jerami di lantai barak—dan lagi-lagi tubuhnya terdorong dari belakang.
"Tempat itu milikku."
Alec berpaling dan melihat seorang pemuda yang telah lebih dulu tinggal di situ menghunus belatinya.
"Kecuali jika tenggorokanmu ingin kugorok," hardiknya.
Marco melangkah maju.
"Makanlah jeramimu itu," katanya. "Baunya membuatku muak."
Mereka berdua berbalik lalu kembali masuk lebih dalam lagi ke dalam barak, hingga di sebuah sudut, Alec mendapati sebuah tempat kosong dengan hamparan jerami, pada sebuah petak yang agak gelap. Mereka tak melihat seorang pun di situ, lantas ia dan Marco duduk bersebelahan sejauh satu kaki, dengan punggung yang bersandar pada dinding.
Segera saja Alec menghela nafas lega; rasanya nyaman sekali bisa mengistirahatkan kaki yang pegal dan duduk diam. Ia merasa aman karena punggungnya bersandar pada dinding, duduk di sudut ruang hingga ia takkan mudah diserang, dan ia dapat memandang leluasa ke seluruh ruangan. Ia melihat ratusan pemuda lain berdesakan, beberapa di antaranya saling bersitegang, dan puluhan pemuda lain kembali berdatangan masuk ke dalam barak. Ia pun melihat sejumlah pemuda yang masuk dengan diseret pada kakinya, karena mereka telah tewas. Tempat ini terlihat bagai neraka.
"Jangan khawatir, nanti keadaan akan menjadi lebih buruk," kata seseorang di belakang mereka.
Alec menoleh dan melihat seorang pemuda berbaring dalam kegelapan beberapa kaki dari tempatnya duduk, seorang pemuda yang tidak ia kenali sebelumnya; ia tengah berbaring terlentang dengan kedua tangan menjadi alas kepalanya, sembari memandang ke langit-langit. Ia mengunyah-ngunyah sebatang jerami, dan suaranya terdengar dalam dan lesu.
"Kelaparan bisa saja membuatmu mati," imbuhnya dengan suara menakutkan. "Itulah yang membunuh separuh pemuda yang datang kemari. Sedangkan sisanya mati karena penyakit. Jika kau tak mati karena penyakit, maka kau akan mati di tangan pemuda lain. Mungkin kau akan berkelahi hanya demi berebut sepotong roti—atau mungkin berkelahi tanpa alasan apa pun. Mungkin ada orang yang tak suka melihat caramu berjalan, atau tak suka melihat penampilanmu. Mungkin karena kau menegur seseorang. Atau mungkin juga hanya sekadar karena rasa benci yang tak beralasan. Banyak sekali hal semacam itu terjadi di tempat ini."
Ia menghela nafas.
"Dan jika itu semua masih belum mampu membunuhmu, maka api itu yang akan membunuhmu," imbuhnya. "Mungkin bukan pada saat kali pertama kalian berjaga, pun mungkin bukan pada kali kedua. Namun para troll itu akan menerobos pada saat-saat yang tidak kalian duga, biasanya dengan tubuh yang terbakar, dan mereka selalu mencari sasaran untuk dibunuh. Mereka tak takut melakukan apa pun dan mereka datang entah dari mana. Aku pernah melihat salah satunya pada suatu malam, ia menggigit tenggorokan seorang penjaga sebelum kawan-kawannya sempat berbuat sesuatu."
Alec saling berpandangan dengan Marco, dan masing-masing bertanya-tanya kehidupan macam apa yang akan mereka jalani di tempat itu.
"Tidak ada," imbuh orang itu, "Belum pernah kulihat ada seorang penjaga baru yang sanggup bertahan lebih dari satu bulan."
"Tapi kau masih di sini," tukas Marco.
Pemuda itu pun menyeringai, mulutnya masih mengunyah-ngunyah jerami dan matanya masih memandang langit-langit.
"Itu karena aku belajar bagaimana caranya bertahan hidup," balasnya.
"Sudah berapa lama kau berada di sini?" tanya Alec.
"Dua bulan," balasnya. "Aku yang paling lama di antara mereka semua."
Alec ternganga karena terkejut. Dua bulan, dan orang itu adalah yang bertahan paling lama. Tempat ini benar-benar tempat menyetor nyawa. Ia mulai bertanya-tanya apakah dirinya salah telah memilih datang ke tempat ini; mungkin ia seharusnya melawan para prajurit Pandesia saat mereka tiba di Solis, sehingga ia bisa mati dengan cepat, mati dengan wajar di kampung halamannya. Benaknya sekarang dipenuhi oleh pikiran untuk melarikan diri; lagipula, kakaknya telah lolos dari paksaan untuk menjadi penjaga di tempat ini—apa lagi perlunya ia berada di tempat ini?
Alec mulai mencari-cari di seluruh dinding, memeriksa letak jendela dan pintu, menghitung jumlah penjaga barak, dan bertanya-tanya apakah ada jalan untuk keluar dari tempat ini.
"Bagus," kata pemuda itu dengan mata yang masih tertuju ke langit-langit, namun tetap dapat melihat apa yang dilakukan oleh Alec. "Berpikir untuk melarikan diri. Berpikir tentang tempat mana pun juga, selain tempat ini. Itulah caramu untuk bertahan hidup."
Alec tersipu malu karena pemuda itu bisa membaca pikirannya, dan ia heran bagaimana pemuda itu bisa melakukannya tanpa melihat apa yang sedang ia lakukan.
"Namun jangan pernah benar-benar mencobanya," kata pemuda itu. "Tak terhitung lagi berapa orang yang mati karena mencoba melarikan diri setiap malam. Lebih baik terbunuh daripada mati saat melarikan diri."
"Mati seperti apa?" tanya Marco. "Apakah mereka menyiksa kalian?"
Pemuda itu menggeleng.
"Lebih buruk lagi," katanya. "Mereka membiarkanmu melarikan diri."
Alec menatap orang itu dengan kebingungan.
"Apa maksudmu?" tanya Alec.
"Tempat ini adalah pilihan yang tepat," tutur pemuda itu. "Hutan itu penuh dengan kematian. Babi hutan, binatang buas, para troll—serta segala sesuatu yang bisa kau bayangkan. Tak pernah ada yang selamat."
Pemuda itu menyeringai dan untuk kali pertamanya memandang mereka berdua.
"Selamat datang di Benteng Api, kawan," katanya sembari tersenyum lebar.