Kitabı oku: «Bangkitnya Para Naga», sayfa 4
"Jawab dia," bentak si pemimpin. "Kau sendiri yang merajah tato ini?" Konon untuk mendapatkan tato ini, kau harus membunuh seratus orang terlebih dulu."
Merk menarik nafas, dan dalam keheningan itu, mereka semua menanti jawaban apa yang akan ia berikan. Akhirnya, Merk menghela nafas.
"Seribu nyawa," kata Merk.
Si pemimpin mengerjapkan mata, ia bingung.
"Apanya?" tanyanya.
"Seribu nyawa," papar Merk. "Sebanyak itulah yang harus kubunuh untuk mendapatkan tato itu. Dan Raja Tarnis sendiri yang menorehkannya di pergelangan tanganku."
Semua menatap Merk dengan terkejut, dan keheningan yang panjang menyelimuti seluruh hutan itu, demikian heningnya hingga Merk dapat mendengar bunyi decit kumbang-kumbang. Ia menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.
Lantas salah satu dari mereka tertawa tergelak—lalu diikuti oleh tawa kawannya yang lain. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan Merk yang masih berdiri di situ; mereka pikir, itulah lelucon terkonyol yang pernah mereka dengar.
"Cerita yang bagus, nak," ujar seorang dari kawanan itu. "Kau benar-benar seorang pertapa pembohong yang lihai."
Si pemimpin itu menekankan belatinya ke leher Merk, cukup kuat hingga membuat darah mulai menetes.
"Kubilang, jawab pertanyaanku," ulangnya. "Jawablah dengan jujur. Apa kau mau mampus sekarang, hah?"
Mark diam saja sambil merasakan sakit, lalu ia memikirkan pertanyaan itu—ia benar-benar memikirkannya. Apakah ia ingin mati? Itu adalah sebuah pertanyaan yang bagus, dan sebuah pertanyaan dengan makna yang jauh lebih dalam dari maksud mereka. Ketika memikirkannya dengan bersungguh-sungguh, ia merasa bahwa sebagian dari dirnya belum ingin mati. Ia memang lelah dengan kehidupan ini, lelah setengah mati.
Namun setelah memikirkannya lagi, Merk akhirnya merasa bahwa ia belum siap mati. Bukan sekarang. Bukan hari ini. Bukan pada saat ia telah siap untuk memulai sebuah lembaran yang baru. Bukan pada saat ia baru saja mulai dapat menikmati hidupnya. Ia ingin mendapatkan sebuah kesempatan untuk berubah. Ia ingin mendapatkan kesempatan untuk mengabdi di Menara. Ia ingin menjadi Sang Penjaga.
"Tidak, aku belum mau mati," jawab Merk.
Akhirnya ia menatap lekat-lekat orang yang menahannya itu tepat di matanya, dan keteguhan mulai muncul di dalam dirinya.
"Dan oleh karena itu," lanjutnya, "Akan kuberi kalian satu kesempatan untuk melepaskanku, sebelum kubunuh kalian semua."
Mereka semua memandang Merk dengan kaget, lantas si pemimpin itu murka dan hendak mulai menyerangnya.
Merk merasa mata pisau mulai mengiris tenggorokannya, dan suatu kekuatan dalam dirinya mulai bekerja. Itu adalah sebuah sisi dalam dirinya sebagai prajurit kelas tinggi, keahlian yang ia latih seumur hidupnya, sisi lain dalam dirinya yang tak dapat menahan kesabaran lebih lama lagi. Dan itu berarti ia harus melanggar sumpahnya—namun Merk tak peduli lagi.
Old yang dahulu pun telah kembali lagi demikian cepat, seolah jati dirinya itu tak pernah ia tinggalkan—dan dalam sekejap mata, dirinya telah berubah kembali menjadi seorang pembunuh.
Merk memusatkan perhatian dan pandangannya pada tiap gerak lawannya, pada tiap kelebat, tiap titik lemah, pada tiap titik mematikan di tubuh lawannya. Hasrat membunuh telah menguasainya bagaikan seorang kawan lama yang ia temui lagi, dan Merk membiarkan hasrat itu berkuasa dalam dirinya.
Dengan satu gerakan secepat kilat, Merk menarik pergelangan tangan si pemimpin begal itu, menotokkan jarinya tepat di titik lemahnya, menghentakkannya hingga patah, dan merebut kembali belatinya yang terlepas, lalu dalam satu gerakan yang cepat, digoroklah leher lawannya lebar-lebar.
Si pemimpin itu sempat memandangnya dengan tatapan terkesima sebelum roboh ke tanah, lalu mati.
Merk berpaling dan memandang kawanan yang lain, dan mereka pun memandangnya juga, tertegun, dengan mulut ternganga.
Kini giliran Merk yang tertawa saat melihat mereka semua, menikmati apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ia berkata "Ada kalanya memang, kalian berurusan dengan orang yang salah."
BAB LIMA
Kyra berdiri di tengah-tengah jembatan yang penuh sesak; ia merasa semua mata tertuju padanya, dan semuanya menanti keputusan soal nasib babi hutan itu. Pipinya merah; ia tak suka menjadi pusat perhatian. Toh, ia senang ayahnya memberikan pengakuan padanya, dan ia merasakan kebanggaan yang amat besar, terlebih karena ayahnya menyerahkan keputusan itu pada dirinya.
Namun di saat yang sama, ia juga memikul tanggung jawab yang berat. Ia tahu, pilihan apa pun yang ia buat akan menetukan nasib orang lain. Sedalam apa pun kebenciannya pada pasukan Pandesia, ia tak ingin bertanggung jawab karena melibatkan bangsanya dalam sebuah perang yang tak dapat mereka menangkan. Tetapi ia pun tak ingin mundur dan membuat Pasukan Pengawal itu semakin besar kepala, semakin menjadi merendahkan bangsanya, membuat bangsanya terlihat lemah, apalagi setelah Anvin dan para prajurit yang lain menghadapi mereka dengan berani.
Ia tahu bahwa ayahnya sangat bijaksana; dengan menyerahkan keputusan itu pada dirinya, ayahnya membuat seolah keputusan itu merupakan keputusan mereka bersama, bukan keputusan para Pasukan Pengawal, dan tindakan itu sendiri telah menyelamatkan muka bangsanya. Ia juga mengerti bahwa ayahnya menyerahkan keputusan itu dengan satu alasan: ayahnya tahu bahwa situasi semacam ini memerlukan dukungan dari pihak luar benteng agar kehormatan semua pihak tetap terjaga—dan ayahnya memilih dirinya karena ia memang cocok, dan karena ayahnya tahu bahwa Kyra tak akan bertindak gegabah, dan karena kata-katanya yang sederhana. Semakin dalam ia memikirkannya, semakin pahamlah Kyra mengapa ayahnya memilih dirinya: bukan untuk memicu pecahnya pertempuran—ayahnya bisa saja memilih Anvin untuk membuat keputusan—namun untuk menghindarkan orang-orang ini dari pertempuran.
Kyra akhirnya menentukan keputusannya.
"Binatang ini terkutuk," ujarnya acuh. "Hampir saja ketiga saudaraku tewas olehnya. Babi hutan ini berasal dari Hutan Akasia dan dibunuh pada saat perayaan Bulan Musim Dingin, hari yang terlarang untuk berburu. Membawanya masuk ke gerbang itu adalah sebuah kesalahan—seharusnya kita membiarkannya membusuk di sana, di tempat asalnya."
Ia berpaling dan memandang para Pasukan Pengawal dengan tatapan mengejek.
"Bawalah babi hutan ini kepada Tuan Gubernur," kata Kyra sembari tersenyum. "Bantulah kami."
Para Pasukan Pengawal itu mengalihkan pandangan dari Kyra ke babi hutan itu, dan raut muka mereka pun berubah; mereka tampak merasa jijik, tak menginginkan babi hutan itu lagi.
Kyra melihat Anvin dan semua orang di situ memandangnya dengan ungkapan setuju dan bersyukur—dan ayahnya pun demikian. Kyra telah mengambil keputusannya—ia telah menyelamatkan muka bangsanya, menghindarkan mereka dari pertempuran—sekaligus berhasil memperolokkan Pandesia.
Kedua kakaknya menurunkan babi hutan yang dipanggulnya dan menggeletakkannya begitu saja di tanah bersalju. Mereka berdua mundur dengan malu-malu, dan bahu mereka jelas kesakitan.
Kini semua mata tertuju pada Pasukan Pengawal yang masih berdiri saja di situ, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kata-kata Kyra jelas berhasil menohok mereka; kini para pengawal memandang babi hutan itu seakan serupa barang kotor yang baru saja digali dari dalam tanah. Jelas mereka tak lagi menginginkannya. Dan karena babi hutan itu sekarang menjadi milik mereka, maka mereka pun tampaknya telah kehilangan selera untuk mengambilnya.
Setelah kebisuan yang panjang dan menegangkan, komandan Pasukan Pengawal akhirnya memberi isyarat pada anak buahnya untuk mengangkut babi hutan itu, lalu ia berbalik, bersungut-sungut dan berlalu; ia jelas sangat kesal karena menyadari bahwa ia baru saja diakali.
Kerumunan bubar, ketegangan sirna dan kini kelegaan terasa. Banyak anak buah ayahnya yang mendekati Kyra dengan tatapan setuju, dan menepukkan tangan di bahunya.
"Selamat," kata Anvin sembari memandangnya tanda setuju. "Kau akan menjadi pemimpin yang hebat kelak."
Orang-orang desa kembali melanjutkan perjalanannya, hiruk pikuk kembali pecah, ketegangan berangsur reda dan Kyra berbalik lalu memandang ayahnya. Ayahnya pun menatapnya, ia berdiri tak jauh dari Kyra. Di depan anak buahnya, ayahnya selalu pendiam jika terkait soal Kyra, dan demikian pula saat ini—raut mukanya masih sama, namun ia mengagguk pelan pada Kyra, anggukan yang mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan keputusan Kyra.
Kyra memandang ke sekeliling dan melihat Anvin serta Vidar menggenggam tombaknya, lalu jantungnya berdegup kencang.
"Bolehkah aku bergabung dengan kalian?" tanyanya pada Anvin karena tahu bahwa mereka akan pergi ke arena latih, seperti halnya seluruh anak buah ayahnya yang lain.
Anvin melirik gugup pada ayah Kyra, karena ia merasa bahwa sang ayah takkan mengizinkan.
"Salju makin tebal," akhirnya Anvin menjawab sekenanya. "Malam pun hampir tiba"
"Tetapi itu tak mengurungkan niat kalian," balas Kyra.
Anvin meringis.
"Benar, tidak," jawab Anvin mengakuinya.
Anvin melirik lagi pada ayah Kyra, dan Kyra menoleh lalu melihat ayahnya menggeleng sebelum ia berpaling dan kembali ke benteng.
Anvin menghela nafas.
"Mereka tengah menyiapkan pesta besar," katanya. "Lebih baik kau pulang."
Kyra pun mengetahui persiapan itu; udara dipenuhi aroma daging yang dipanggang, dan ia melihat kedua kakaknya masuk ke dalam benteng bersama dengan lusinan orang desa, semuanya bergegas mempersiapkan diri untuk pesta perayaan itu.
Namun Kyra berpaling dan menatap penuh harap ke tanah lapang, ke arena latihan itu.
"Makanan masih bisa menunggu," kata Kyra. "Tetapi latihan tidak bisa ditunda. Izinkan aku ikut."
Vidar tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Kau yakin dirimu ini seorang gadis, bukannya seorang prajurit?" tanya Vidar.
"Atau mungkin aku bukan keduanya?" balas Kyra.
Anvin kembali menghela nafas panjang, dan akhirnya ia menggelengkan kepalanya juga.
"Ayahmu akan menghukumku," kata Anvin.
Namun, kemudian Anvin mengangguk.
"Kau tak suka ditolak," simpulnya, "dan kau tekadmu lebih kuat daripada separuh anak buahku. Kurasa kita bisa mencobanya sekali lagi."
*
Kyra berlari melintasi tanah bersalju, mengikuti Anvin, Vidar, dan beberapa anak buah ayahnya, serta Leo di sampingnya, seperti biasanya. Salju turun makin tebal dan Kyra tak peduli. Ia merasakan kebebasan dan kegembiraan, seperti yang ia rasakan saat memasuki Gerbang Petarung, sebuah pintu masuk rendah berbentuk melengkung yang menembus dinding batu di arena latihan itu. Ia menarik nafas dalam-dalam di bawah langit luas dan ia berlari ke tempat yang paling ia sukai di dunia; deretan perbukitan hijaunya kini berselimut salju, dikelilingi oleh dinding batu yang menjulang, mungkin selebar dan setinggi dua ratus depa. Ia merasa segala sesuatu telah berjalan seperti semestinya saat melihat para prajurit itu berlatih, berseliweran memacu kudanya, melentingkan lembing, membidik sasaran yang jauh dan meningkatkan kemampuan bertarungnya. Baginya, inilah arti hidup yang sesungguhnya.
Arena latihan itu dibuat untuk para anak buah ayahnya; perempuan dan laki-laki yang belum genap delapan belas tahun umurnya—serta orang-orang yang tak diundang. tak diperbolehkan masuk ke situ. Tiap hari, Brandon dan Braxton menanti dengan sabar agar diundang masuk ke arena itu—namun Kyra rasa mereka berdua tak pernah diundang. Gerbang Petarung adalah tempat untuk para prajurit terhormat dan berpengalaman, bukan untuk pembual macam kedua kakaknya.
Kyra berlari melintasi arena terbuka, ia merasa jauh lebih bahagia dan lebih bersemangat di tempat itu daripada di tempat lain mana pun di muka bumi ini. Energi di tempat itu terasa amat kuat, terpancar dari lusinan prajurit terbaik ayahnya; mereka semua mengenakan baju zirah yang sedikit berbeda, lantaran mereka berasal dari berbagai wilayah di Escalon; mereka semua adalah para prajurit yang bagai tersedot oleh benteng ayahnya itu. Mereka adalah para prajurit dari wilayah selatan, dari Thebus dan Leptis; dari Midland, dan kebanyakan dari ibu kota, Andros, namun ada juga para prajurit dari gunung Kos, prajurit-prajurit wilayah barat dari Ur, orang-orang sungai dari Thusis dan tetangga mereka dari Esephus. Ada pula para prajurit yang tinggal dekat dengan Danau Ire, dan mereka yang berasal dari tempat yang jauh, seperti dari air terjun Everfall. Mereka semua mengenakan pakaian dan baju zirah yang berbeda, memegang senjata yang berbeda; mereka adalah para prajurit Escalon yang mewakili kesatuannya masing-masing. Mereka merupakan sebuah kekuatan yang mengagumkan.
Ayahnya, prajurit terbaik yang pernah mengabdi pada mantan Raja, adalah seorang pemimpin yang disegani, satu-satunya pria di masa-masa keruntuhan kejayaan kerajaan, yang dipatuhi oleh begitu banyak pasukan. Dan memang, saat Sang Raja menyerahkan kerajaannya tanpa syarat, bangsanya mendesak agar ayahnyalah yang melanjutkan tahta kerajaan dan memimpin perang. Seiring waktu, para prajurit terbaik lainnya mencari ayahnya, dan kini, dengan kekuatan yang semakin besar hari demi hari, Volis telah memiliki kekuatan yang nyaris seimbang dengan pasukan di ibu kota. Kyra tahu, mungkin karena itulah para Pasukan Pengawal merasa perlu merendahkan mereka semua.
Di tempat lain di Escalon, Tuan Gubernur untuk Pandesia tidak mengizinkan para ksatria berkumpul, tidak memberikan kebebasan semacam itu karena khawatir akan pecah perlawanan. Namun di sini, di Volis, keadaannya berbeda. Di sini, Pandesia tak punya pilihan; mereka harus mengizinkannya, karena mereka membutuhkan pasukan sebaik mungkin untuk menjaga Benteng Api.
Kyra berbalik dan memandang ke sekitar, di luar dinding, di balik deretan perbukitan putih dan di kejauhan, di kaki langit, menembus salju yang turun, meski samar-samar ia dapat melihat pendar cahaya Benteng Api. Benteng Api, dinding api yang melindungi tapal batas di timur Escalon, dinding api setebal lima puluh kaki dan beberapa ratus kaki tingginya, menyala sangat terang, menerangi malam, siluetnya terlihat di kaki langit dan tampak makin jelas seiring malam tiba. Benteng Api yang membentang hampir lima puluh mil luasnya adalah satu-satunya bangunan yang terletak di antara Escalon dan tanah bangsa troll yang keji di sebelah timur.
Namun demikian, banyak troll mencoba menerobos masuk membawa malapetaka tiap tahun, dan jika bukan karena Sang Penjaga, para prajurit pemberani anak buah ayahnya yang menjaga Benteng Api, Escalon niscaya akan menjadi budak bagi para troll. Para troll yang takut air hanya dapat menyerang Escalon lewat daratan, dan Benteng Api adalah satu-satunya yang mampu menahan mereka. Sang Penjaga bertugas bergantian, berkeliling melakukan patroli, dan Pandesia jelas membutuhkan mereka. Sebenarnya ada juga orang-orang lain yang berada di Benteng Api—para serdadu aplusan, budak, dan para penjahat—namun pasukan yang sesungguhnya hanyalah anak buah ayahnya, Sang Penjaga, dan satu-satunya pasukan yang tahu bagaimana cara menjaga Benteng Api.
Sebagai imbalannya, Pandesia memberikan sedikit kebebasan bagi Volis dan para prajuritnya, seperti arena latihan dan senjata-senjata yang sesungguhnya—sedikit kebebasan yang membuat mereka masih merasa menjadi seperti prajurit yang merdeka, meskipun semua itu hanyalah ilusi belaka. Mereka bukanlah orang-orang yang merdeka, dan mereka semua menyadarinya. Mereka hidup dengan keseimbangan yang aneh antara kebebasan dan perbudakan yang tak dapat mereka terima.
Tapi setidaknya, di sini di Gerbang Petarung, para prajurit ini dapat menjadi orang merdeka seperti dahulu kala, para prajurit yang dapat bersaing dan berlatih serta menempa kemampuannya. Mereka adalah wakil-wakil terbaik Escalon, para prajurit yang lebih hebat daripada seluruh prajurit yang dimiliki oleh Pandesia; mereka semua adalah para prajurit yang pernah bertugas—dan seluruh pasukan lain—di Benteng Api; namun kini masa itu telah berlalu. Yang diinginkan Kyra hanyalah agar dapat bergabung dengan pasukan itu, dapat membuktikan kemampuannya untuk bertugas di Benteng Api, untuk bertempur melawan troll yang sebenarnya jika mereka datang, dan untuk menjaga kerajaan dari serbuan musuh.
Tentu saja ia tahu bahwa ia takkan pernah mendapatkan izin. Ia masih terlalu muda untuk bergabung bersama mereka—dan ia adalah seorang gadis. Tak ada gadis lain di dalam pasukan itu, dan jika ada, maka ayahnya tak akan pernah mengizinkannya. Anak buah ayahnya pun memandang dirinya sebagai seorang anak kecil saat ia pertama kali datang ke arena latihan beberapa tahun yang lalu; mereka kegirangan melihat keberadaannya, seperti penonton yang terpesona. Namun setelah para pasukan itu selesai, ia tinggal di sana seorang diri, berlatih siang dan malam arena latihan yang sepi, memakai senjata dan sasaran mereka. Awalnya, ketika datang kembali keesokan harinya, mereka terkejut melihat anak panah yang menancap pada sasaran latihan—dan lebih kagum lagi karena anak panah itu menancap tepat di tengah-tengah sasaran. Namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi terbiasa dengan hal itu.
Kemampuan Kyra mulai diperhitungkan dan dihargai, terlebih karena jarang-jarang ia diizinkan berlatih di arena itu. Kini, dua tahun kemudian, mereka semua tahu bahwa Kyra mampu membidik sasaran yang tak mampu mereka taklukkan—dan mereka yang dulunya memandang Kyra sebelah mata, kini berubah menjadi menghormatinya. Tentu saja, Kyra belum pernah bertempur dalam perang seperti yang pernah dilakukan oleh para prajurit ini; Kyra pun belum pernah membunuh seseorang, belum pernah berjaga di Benteng Api atau berhadapan dengan troll di medan perang. Ia tak dapat mengayunkan pedang atau kapak atau halberd -tombak bermata kapak-, atau bergulat seperti yang dilakukan oleh para prajurit ini. Kekuatan badannya tak sampai separuh kekuatan mereka, dan inilah yang sangat ia sesalkan.
Namun Kyra tahu bahwa ia memiliki kemampuan alamiah dalam menggunakan dua jenis senjata, dan masing-masing senjata itu membuatnya menjadi lawan yang tangguh meskipun ia adalah seorang gadis dan tubuhnya mungil, yaitu busur panah dan tongkat. Busur panah ia kuasai sejak kecil, sedangkan ia baru saja mahir menggunakan tongkat beberapa bulan yang lalu secara tak sengaja, ketika ia tak mampu mengangkat sebuah pedang besar. Waktu itu, para prajurit menertawakan dirinya yang tak mampu mengangkat pedang besar itu, dan untuk mengejeknya, salah seorang dari mereka melemparkan sebuah tongkat padanya dengan penuh cemooh.
"Siapa tahu kau bisa mengangkat tongkat ini," seru prajurit itu ditimpali gelak tawa para prajurit yang lain. Kyra tak pernah lupa betapa malunya ia saat itu.
Awalnya, mereka menganggap tongkat itu sebagai ejekan belaka; toh tongkat semacam itu hanya digunakan sebagai senjata latih bagi mereka, para pemberani yang membawa pedang besar dan kapak dan tombak bermata kapak, yang mampu menumbangkan sebatang pohon dengan sekali tebas. Mereka menganggap tongkat kayu itu sekadar sebuah mainan, dan itu membuat Kyra semakin diremehkan.
Namun Kyra telah mengubah mainan itu menjadi sebuah senjata ampuh, sebuah senjata yang mengerikan. Tongkat itu menjadi sebuah senjata yang membuat banyak anak buah ayahnya bertekuk lutut. Kyra sangat kagum akan betapa ringannya tongkat itu, dan ia lebih kagum lagi menyadari betapa dirinya dapat menguasainya secara alami—begitu cepat gerakannya sehingga ia dapat mendaratkan pukulan saat para prajurit itu bahkan belum selesai menghunus pedangnya. Dengan tongkat itu, banyak prajurit yang berlatih dengannya harus berakhir dengan lebam-lebam di tubuhnya, dan sekaligus ia berhasil mendapatkan kembali rasa hormat mereka.
Setelah berlatih seorang diri tanpa henti, meningkatkan kemampuannya tanpa seorang pelatih, Kyra berhasil menguasai banyak gerakan yang mampu memukau para prajurit itu, gerakan-gerakan yang tak dipahami oleh satu pun dari mereka. Mereka pun tertarik pada tongkat itu, dan Kyra lantas mengajari mereka. Dalam benak Kyra, busur dan tongkat itu saling melengkapi, dan masing-masing sama pentingnya: ia membutuhkan busur panah untuk pertarungan jarak jauh, dan tongkat itu ia butuhkan untuk pertarungan jarak dekat.
Kyra juga menyadari betapa ia memiliki bakat alami yang tak mereka miliki: ia sangatlah gesit. Ia bagaikan seekor ikan kecil di lautan yang dipenuhi oleh hiu-hiu yang lamban, dan meskipun para pria kawakan itu memiliki kekuatan yang besar, Kyra dapat bergerak lincah ke sana kemari, ia dapat melompat tinggi, berjungkir balik melampaui kepala mereka dan mendarat dengan berguling—atau mendarat dengan kedua kakinya. Dan ketika kegesitannya ini berpadu dengan teknik bermain tongkat, hasilnya adalah sebuah paduan yang mematikan.
"Apa yang dilakukannya di sini?" tanya seseorang dengan suara kasar.
Kyra, yang berdiri di tepi arena latihan di sebelah Anvin dan Vira, mendengar derap kuda yang mendekat; lalu ia berbalik dan melihat Maltren berkendara di atas kudanya, disertai oleh beberapa kawannya sesama prajurit dengan nafas yang masih terengah-engah akibat pedang yang mereka bawa, karena mereka baru saja berlatih di arena itu juga. Maltren memandangnya dengan hina, dan Kyra pun merasa muak. Di antara sekian banyak anak buah ayahnya, Maltren adalah satu-satunya prajurit yang tak menyukai dirinya. Entah karena alasan apa, ia membenci Kyra sejak pertama kali melihat dirinya.
Maltren duduk di atas pelana kudanya dengan emosi yang mendidih; dengan hidung pesek dan mukanya yang buruk, ia cocok sekali menjadi seorang pembenci, dan tampaknya ia menemukan mangsanya, yaitu Kyra. Ia selalu menentang keberadaan Kyra di arena latihan ini, mungkin lantaran Kyra adalah seorang gadis.
"Kau seharusnya kembali ke dalam benteng ayahmu, mempersiapkan pesta perayaan bersama dengan gadis-gadis muda yang bebal lainnya" kata Maltren.
Di sebelah Kyra, Leo menggeram pada Maltren, lalu Kyra mengeluskan tangannya pada kepala Leo untuk menenangkannya.
"Dan mengapa serigala ini boleh masuk ke arena latihan kita?" imbuh Maltren.
Anvin dan Vidar yang memihak Kyra menatap Maltren dengan dingin dan tajam; Kyra masih berdiri di situ dan tersenyum saja, karena tahu bahwa mereka berdua akan membelanya dan Maltren takkan dapat mengusirnya dari situ.
"Rasanya kau harus kembali ke arena latihan, bukannya sibuk mengurusi gadis muda dan bebal yang keluar-masuk di sini," balas Kyra dengan nada mengejek.
Maltren meradang, namun tak dapat membalas. Ia berpaling, bersiap hendak pergi, namun tak lupa untuk menghina Kyra lagi sebelum berlalu.
"Hari ini adalah latihan tombak," katanya. "Sebaiknya kau menyingkir dari para pria sejati yang berlatih menggunakan senjata yang sebenarnya."
Maltren berpaling dan memacu kudanya bersama dengan kawan-kawannya, dan setelah ia berlalu, Kyra merasa bahwa kesenangannya di sini sempat terganggu oleh kedatangan Maltren.
Anvin memandangnya dengan tatapan menenagkan dan merangkul bahunya.
"Pelajaran pertama bagi seorang prajurit adalah belajar hidup bersama orang yang membencinya," ujarnya. "Suka tak suka, kau akan bertempur bersama orang-orang yang membencimu, dan menggantungkan nyawamu pada mereka. Seringkali, musuh terbesar bukanlah lawanmu, melainkan kawanmu."
"Dan mereka yang banyak bicara biasanya tak pandai bertarung," sahut seseorang.
Kyra membalikkan badan dan dilihatnya Arthfael datang dengan senyum menyeringai, membelanya seperti biasanya. Seperti Anvin dan Vidar, Arthfael -seorang prajurit pemberani yang bertubuh tinggi, dengan kepala pelontos dan jenggot hitam yang panjang dan kaku ini- selalu bersikap baik pada Kyra. Ia adalah salah satu ahli pedang terbaik, nyaris tak tertandingi, dan ia selalu membela Kyra. Kyra merasa senang akan kehadirannya.
"Begini," imbuh Arthfael. "Jika Maltren adalah seorang prajurit yang hebat, maka ia akan lebih banyak mengurus urusannya sendiri daripada sibuk mengurus orang lain."
Anvin, Vidar dan Arthfael naik ke atas kuda mereka masing-masing lalu berlalu bersama para prajurit yang lain, sementara Kyra masih berdiri di situ memandang mereka berlalu, sembari berpikir. Mengapa seseorang harus membenci orang lain? begitulah ia bertanya-tanya. Ia tak pernah dapat memahami jawaban dari pertanyaan itu.
Tatkala mereka berpacu mengelilingi arena latihan membentuk sebuah lingkaran lebar, Kyra mengamati kuda-kuda perang yang hebat itu dengan penuh rasa kagum, dan ia membayangkan suatu saat nanti ia akan menunggangi kuda perangnya sendiri. Kyra memandangi mereka yang berkuda berkeliling arena, berpacu di sekeliling dinding batunya, dan kaki-kaki kuda itu kadang-kadang terpeleset oleh salju. Mereka menangkap tombak yang dilemparkan oleh para pelayan latihan, dan sembari berkuda mengitari arena, mereka melontarkan tombak itu menuju sasaran yang jauh letaknya, yaitu perisai-perisai yang tergantung di dahan pohon. Ketika tombak itu mengenai sasaran, bunyi denting logam beradu terdengar bertalu.
Ia rasa melempar tombak sambil berkuda itu jauh lebih sulit daripada yang ia lihat, dan lemparan tombak beberapa dari prajurit itu meleset, terlebih saat mereka membidik sasaran berupa perisai yang lebih kecil ukurannya. Bagi mereka yang berhasil mengenai sasaran, hanya sedikit yang lemparannya berhasil menancap tepat di tengah—kecuali Anvin, Vidar, Arthfael dan segelintir prajurit yang lainnya. Ia melihat betapa Maltren berulang kali gagal mengenai sasaran, lantas mengumpat diam-diam sambil melirik padanya, seolah-olah itu semua adalah salah Kyra.
Agar badannya tetap hangat, Kyra mengeluarkan tongkatnya lalu mulai memutar dan mengayunkan tongkat itu dengan tangannya, melewati atas kepala, mengitari tubuhnya, meliuk dan berputar seolah tongkat itu bernyawa. Ia memukul musuh khayalannya, menangkis serangan khayalan, berganti tangan untuk memegang tongkat, memutarnya mengitari leher, mengitari pinggangnya; tongkat itu bagai tangannya yang ke-tiga, tongkat yang terbuat dari kayu yang amat tua.
Saat para prajurit itu berkuda mengitari arena latihan, Kyra berlari menuju arena latihannya sendiri, sebidang tanah lapang kosong kecil di dalam arena latihan, yang tak pernah dipakai oleh para prajurit itu, namun merupakan sebidang tanah yang ia sukai sebagai tempat berlatih. Beberapa lempeng baja digantung dengan tali pada serumpun pepohonan, tersebar dengan ketinggian yang berbeda-beda, dan
Kyra berlari sambil membayangkan bahwa sasaran itu adalah musuh-musuhnya, lalu memukulnya satu persatu menggunakan tongkat. Bunyi berdenting terdengar saat ia berlari menuju pepohonan itu, membabat, meliuk dan melesak saat sasaran-sasaran itu berayun-ayun kembali ke arahnya. Dalam benaknya, ia tengah menyerang dan bertahan dengan hebat, menaklukkan sepasukan musuh khayalannya.
"Berhasil membunuh musuh?" terdengar suara mengejek.
Kyra membalikkan badan dan melihat Maltren di atas kudanya, ia tertawa mencemooh Kyra, sebelum berlalu lagi. Kyra naik pitam, berharap ada seseorang yang menyadarkan Maltren akan kemampuannya sendiri.
Kyra beristirahat sejenak saat melihat para prajurit itu selesai berlatih dengan tombaknya, lalu mereka turun dari kuda dan berkumpul dalam lingkaran di tengah lapangan terbuka. Pelayan latihan berlari maju dan memberikan pedang-pedang latih yang terbuat dari kayu ek keras, beratnya nyaris sama dengan pedang baja. Kyra tetap berdiri di kejauhan; jantungnya berdegup kencang saat melihat para prajurit itu saling berlatih berpasangan; ia sangat ingin ikut berlatih bersama mereka.
Sebelum mulai latihan itu, Anvin berjalan ke tengah lingkaran dan memandang mereka semua.
"Di hari besar ini, kita akan berlatih untuk memperebutkan hadiah istimewa," kata Anvin. "Para pemenang akan mendapatkan jatah makanan terbanyak dalam pesta!"
Teriakan girang pun bersahutan, lalu mereka mulai berlatih berpasang-pasangan, bunyi pedang kayu yang saling beradu terdengar nyaring, seiring dengan langkah mereka merangsek maju dan mundur teratur.
Latihan berpasangan itu diselingi oleh tiupan terompet yang nyaring, yang dibunyikan setiap kali seorang lawan latihan terkena pukulan pedang kayu, lalu ia yang kalah harus menyingkir ke tepi arena. Terompet itu berbunyi berulang kali, dan lambat laun jumlah prajurit yang tersisa pun semakin berkurang; sebagian besar dari mereka kini berdiri di tepi arena, menyaksikan kawannya yang masih bertanding.
Kyra pun berdiri di sisi arena bersama mereka, gemas ingin ikut berlatih, meskipun ia tentu takkan diizinkan. Namun hari ini adalah hari kelahirannya, usianya telah menginjak lima belas tahun, dan ia merasa dirinya telah siap. Ia merasa inilah saat baginya untuk unjuk kemampuan.
"Izinkan aku ikut latihan!" ia memohon pada Anvin yang berdiri di dekatnya sambil menyaksikan latihan itu.
Anvin menggelengkan kepala tanpa sedikitpun memalingkan pandangan dari arena latihan.
"Hari ini usiaku genap lima belas tahun!" Kyra bersikeras. "Izinkan aku bertanding!"
Anvin melirik sekilas padanya dengan ragu.
"Ini adalah arena latihan untuk para pria," sahut Maltren yang berdiri di tepi arena setelah kalah bertanding. "Bukan untuk gadis kecil. Kau duduk dan menonton saja bersama pelayan latihan, dan bawakan air jika kami memintanya."
Kyra meradang.
"Apakah kau takut dikalahkan oleh seorang gadis?" balas Kyra yang berdiri penuh amarah. Ia adalah anak perempuan ayahnya, dan tak ada yang boleh bicara sembarangan padanya seperti itu.
Beberapa prajurit terkekeh mendengarnya, dan kali ini giliran muka Maltren yang merah padam.
"Ia punya kemampuan, mungkin kita perlu mengizinkannya ikut latihan," sahut Vidar. "Apa salahnya dicoba?"
"Berlatih menggunakan apa?" balas Maltren.
"Dengan tongkatku!" sambar Kyra. "Melawan pedang kayumu."
Maltren tertawa.
"Ini pasti akan jadi tontonan menarik," kata Maltren.
Semua mata tertuju pada Anvin, sementara Anvin masih berdiri menimbang-nimbang.
"Jika kau terluka, ayahmu akan membunuhku," kata Anvin.