Kitabı oku: «Takdir Naga», sayfa 4

Yazı tipi:

Dia melirik ke arahnya, hanya untuk sesaat, dan, mata hijau-almond besarnya yang indah, yang beralih dalam cahaya, berubah menjadi biru kristal kemudian kembali lagi, membuatnya terdiam di tempat. Ia terkejut karena menyadari bahwa ia bahkan lebih terpesona olehnya saat ini ketimbang saat ia pertama kali berjumpa dengannya.

Di belakangnya, keluarlah pemilik penginapan, bermuka masam, yang masih menyeka darah dari hidungnya. Gadis itu berjalan ke depan dengan malu-malu, dikelilingi oleh wanita-wanita yang lebih tua, ke arah Erec, dan membungkuk saat dia semakin dekat. Erec bangkit, berdiri di depannya, juga beberapa rombongan Adipati.

"Tuanku," ujarnya, suaranya lembut dan merdu, mengisi hati Erec. "Tolong katakan pada saya apakah yang telah saya lakukan sehingga mengusik Anda. Saya tidak tahu apakah itu, tetapi saya meminta maaf atas apapun yang telah saya lakukan saat hadir di istana Adipati."

Erec tersenyum. Kata-katanya, bahasanya, bunyi suaranya - itu semua membuatnya merasa dipulihkan. Ia tidak akan pernah menginginkan dia untuk berhenti berbicara.

Erec mengulurkan tangan dan menyentuh dagunya dengan tangannya, mengangkatnya sampai mata lembutnya bertemu dengan mata Erec. Jantungnya berdegup kencang ketika ia menatap matanya. Rasanya seperti tersesat dalam lautan biru.

"Tuan Putri, kau tidak melakukan apa-apa yang menyinggung perasaan. Aku tidak merasa kau akan pernah bisa menyinggung perasaan. Aku datang ke sini bukan dengan kemarahan - tetapi karena cinta. Sejak aku melihatmu, aku tidak dapat memikirkan hal lain."

Gadis itu terlihat tersipu, dan segera menjatuhkan pandangan matanya ke lantai, berkedip beberapa kali. Dia memilin tangannya, nampak gelisah, bergejolak. Dia jelas-jelas tidak terbiasa dengan hal ini.

"Tolonglah tuan putri, beri tahu aku. Siapakah namamu?"

"Alistair," jawabnya, dengan rendah hati.

"Alistair," ulang Erec, bergelora. Itu adalah nama paling cantik yang pernah ia dengar.

"Tetapi saya tidak tahu mengapa Anda bersusah payah untuk mengetahuinya," tambahnya, dengan lembut, masih menatap lantai. "Anda adalah seorang Bangsawan. Dan saya hanyalah seorang pelayan."

“Dia adalah pelayanku, lebih tepatnya," kata pemilik penginapan, melangkah maju, merasa tidak senang. "Dia terikat kontrak dengan saya. Dia menandatangani sebuah kontrak, beberapa tahun yang lalu. Tujuh tahun yang dia janjikan. Sebagai imbalannya, saya memberinya makanan dan tempat tinggal. Dia ada di tahun ketiganya. Jadi kau lihat, ini semua buang-buang waktu. Dia adalah milik saya. Saya memilikinya. Anda tidak bisa membawa yang satu ini pergi. Dia adalah milik saya. Apa Anda mengerti?"

Erec merasakan kebencian terhadap pemilik penginapan melampaui yang pernah ia rasakan terhadap seorang pria. Sebagian dari pikirannya hendak mencabut pedangnya dan menikam jantungnya lalu membinasakannya. Bagaimanapun juga pria itu mungkin layak untuk diperlakukkan seperti itu, tetapi Erec tidak ingin melanggar hukum Raja. Selain itu, tindakannya mencerminkan sang raja.

"Hukum Raja adalah hukum Raja," kata Erec kepada pria itu dengan tegas. "Aku tidak berniat untuk melanggarnya. Dikatakan bahwa esok adalah dimulainya turnamen. Dan aku berhak, seperti pria manapun, untuk memilih pengantinku. Dan biarkan hal itu diketahui di sini dan bahwa saat ini aku memilih Alistair."

Keterkejutan menyebar ke ruangan itu, sebagaimana semua orang saling bertukar pandang, terkejut.

"Yang mana," tambah Erec, "jika dia menerimanya."

Erec menatap Alistair, jantungnya berdegup, ketika dia tetap menundukkan wajahnya ke lantai. Ia bisa melihat bahwa ia tersipu.

"Apakah kau setuju, tuan putri?" tanyanya.

Ruangan itu menjadi hening.

"Tuanku," ujarnya dengan lembut, "Anda tidak tahu apa-apa tentang siapa saya, dari mana saya berasal, mengapa saya berada di sini. Dan saya takut ini adalah hal-hal yang tidak bisa saya katakan kepada Anda."

Erec menatapnya dengan bingung.

"Mengapa kau tidak bisa menceritakannya kepadaku?"

"Saya tidak pernah mengatakan kepada siapa pun sejak kedatangan saya. Saya telah bersumpah."

"Tetapi mengapa?" tekannya, sangat penasaran.

Tetapi Alistair hanya tetap menundukkan wajahnya, terdiam.

"Memang benar," tambah salah seorang wanita pelayan. "Gadis ini tidak pernah mengatakan kepada kami siapa dia. Atau mengapa dia ada di sini. Dia menolak mengatakannya. Kami telah mencoba selama bertahun-tahun."

Erec sangat kebingungan olehnya - tetapi itu hanya menambahkannya menjadi misteri.

"Jika aku tidak boleh mengetahui siapa kau, maka aku tidak perlu mengetahuinya," ujar Erec. "Aku menghargai sumpahmu. Tetapi hal itu tidak akan merubah kasih sayangku kepadamu. Tuan putri, siapapun engkau, jika aku mungkin memenangkan turnamen ini, maka aku akan memilihmu sebagai hadiahku. Dirimu, dari wanita manapun di seluruh kerajaan ini. Aku bertanya kepadamu lagi, apakah kau menerimanya?"

Alistair tetap menatap lantai, dan ketika Erec memandangnya, ia melihat air mata bergulir di pipinya.

Tiba-tiba, ia berbalik dan lari keluar dari ruangan itu, berlari keluar dan menutup pintu di belakangnya.

Erec berdiri di sana, bersama dengan yang lainnya, tertegun dalam keheningan. Ia sangat sulit mengetahui cara untuk menafsirkan jawabannya.

"Sudah Anda lihat, Anda membuang-buang waktu Anda, dan waktu saya," ujar pemilik penginapan. "Dia berkata tidak. Jadi pergilah."

Erec mengernyit.

"Dia tidak berkata tidak," sela Brandt. "Dia tidak menjawab."

"Dia berhak atas waktu untuk berpikir," ujar Erec membela diri. "Selain itu, itu adalah hal yang butuh banyak pertimbangan. Dia tidak mengenalku juga."

Erec berdiri di sana, memperdebatkan apa yang harus dilakukan.

"Aku akan tinggal di sini malam ini," Erec akhirnya mengumumkan. "Anda harus memberi saya sebuah kamar di sini, satu lorong dengan kamarnya. Di pagi hari, sebelum turnamen dimulai, aku akan bertanya kepada dia lagi. Jika dia menerima, dan jika aku menang, dia akan menjadi pengantinku. Jika demikian, aku akan membelinya untuk membebaskan kerja paksanya denganmu, dan dia akan meninggalkan tempat ini bersamaku."

Pemilik penginapan jelas sekali tidak menginginkan Erec berada di bawah atapnya, tetapi ia tidak berani berkata apa-apa; jadi dia berbalik dan berlari keluar dari ruangan itu, membanting pintu di belakangnya.

"Apa kau yakin ingin tinggal di sini?" tanya Adipati. "Kembalilah ke kastil bersama dengan kami."

Erec menggelengkan kepala dengan sungguh-sungguh.

"Aku tidak pernah merasa seyakin ini dalam hidupku."

BAB DELAPAN

Thor menarik kepalanya dari udara, menyelam, memasukkan kepalanya ke dalam putaran air Laut Api. Ia menyelam semakin dalam dan mulai merasakan panas di sekelilingnya.

Di bawah permukaan, Thor membuka matanya dengan cepat – dan ia berharap ia tak pernah melakukannya. Ia menangkap sebuah pergerakan semua jenis makhluk laut yang aneh dan buruk rupa, besar dan kecil, dengan raut muka tak wajar dan tak masuk akal. Air di sekitarnya penuh dengan makhluk itu. Ia berdoa mereka tak menyerangnya sebelum ia sampai dengan aman di perahu.

Thor menyembul ke permukaan megap-megap, dan segera mencari si bocah yang tenggelam. Ia menemukannya dengan cepat: anak itu sedang timbul tenggelam, dan pada beberapa detik berikut dipastikan ia tak akan muncul ke permukaan lagi.

Thor mengulurkan tangannya, meraihnya dari belakang tulang selangka bocah itu, lalu mulai berenang bersamanya sambil menjaga kepala mereka berdua tetap berada di atas air. Thor mendengar suara menggeram dan saat ia berbalik, ia sangat terkejut melihat Krohn: pasti ia melompat ke dalam air untuk mengejarnya. Macan tutul itu berenang di sampingnya, ia mencoba mendekat ke arah Thor sambil mendengking. Thor merasa sedih telah membahayakan nyawa Krohn seperti saat ini – namun sangat sedikit yang bisa ia lakukan untuk Krohn.

Thor berusaha tak melihat ke sekelilignnya, ke arah air yang menggelegak kemerahan, ke arah makhluk-makhluk aneh yang timbul tenggelam. Seekor makhluk buruk rupa, dengan empat tangan dan dua kepala, muncul dan mendesis ke arahnya, lalu menyelam kembali ke dalam air, membuat Thor tersentak.

Thor berbalik dan melihat perahu sekitar dua puluh yar jauhnya, lalu berusaha berenang ke arahnya dengan rasa takut di dadanya. Ia gunakan satu lengan dan satu kakinya untuk menarik bocah itu. Bocah itu berontak dan berteriak, berusaha melepaskan diri darinya. Thor khawatir anak itu akan menenggelamkan mereka berdua.

“Bertahanlah!” seru Thor keras-keras, berharap si bocah akan mendengarkannya.

Untungnya, bocah itu memang mendengarnya. Thor sejenak merasa lega – sampai ia mendengar suara kecipak dan memalingkan kepalanya ke arah lain. Seekor makhluk menyembul, makhluk kecil dengan kepala kuning dan empat tentakel. Kepalanya persegi dan makhluk itu berenang ke arahnya, menggertak dan menggeram ke arahnya. Mahkluk itu tampak seperti seekor ular rattle yang hidup di laut, tapi kepalanya terlalu kotak. Thor balas menggertaknya saat binatang itu mendekat, dan ia bersiap untuk digigit olehnya – namun makhluk itu membuka mulutnya lebar-lebar dan meludahkan air laut ke arah Thor. Thor mengejapkan matanya, berusaha menyingkirkan air itu dari matanya.

Makhluk itu berenang mengelilingi mereka, dan Thor melipatgandakan kemampuannya untuk berenang lebih cepat, berusaha untuk menghindarinya.

Thor hampir berhasil dan ia semakin dekat dengan perahu ketika seekor makhluk lain menyembul tak jauh darinya. Makhluk itu panjang, gepeng dan berwarna jingga, dengan dua taring di mulutnya dan selusin kaki kecil. Makhluk itu punya ekor yang panjang dan memukul-mukulkannya ke segala arah. Makhluk itu tampak seperti lobster yang berdiri tegak lurus. Ia berenang di sekitar permukaan air seperti kutu dan mendesis ke arah Thor, berganti arah dan mengibaskan ekornya. Ekor binatang itu mencambuk lengan Thor dan ia menjerit kesakitan karena sengatannya.

Makhluk itu bergerak maju mundur, memukul-mukulkan ekornya terus menerus. Thor berharap ia dapat menghunus pedang dan menyerangnya – tapi hanya ada satu lengannya yang bebas dan ia membutuhkannya untuk berenang.

Krohn yang berenang di sisinya, berbalik dan menggeram ke arah makhluk itu dengan suara keras. Ia berenang tak gentar ke arah binatang buruk rupa, menakut-nakutinya hingga menghilang ke dalam air. Thor menarik nafas lega – sampai makhluk itu kembali muncul di sisinya yang lain, dan mencambuknya kembali. Krohn berputar dan mengejarnya, berusaha menangkapnya, ia berusaha menerkam binatang itu, tapi berulang kali gagal.

Thor berenang demi nyawanya sendiri, menyadari bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah keluar dari laut ini. Setelah merasa berenang cukup lama, lebih keras dari yang pernah ia lakukan, akhirnya ia berhasil mendekati perahu yang bergoncang diterpa gelombang. Saat itu, dua bocah anggota Legiun yang lebih tua dan tak pernah berbicara pada Thor maupun kawan-kawannya, sedang menanti untuk menolongnya. Thor merasa berterima kasih karena mereka membungkuk dan menggapaikan tangan mereka.

Thor membantu bocah yang telah ditolongnya tadi untuk naik ke atas perahu. Dua anggota Legiun itu menarik lengannya dan menyeretnya.

Kemudian Thor menarik Krohn pada perutnya dan mengangkatnya dari air dan melemparkannya ke dalam perahu. Krohn mengeong dan dengan keempat cakarnya ia mendarat di perahu kayu, menggoyangkan badan untuk mengeringkannya. Ia meluncur menyeberangi lantai yang basah, ke sisi lain perahu. Lalu ia melompat mundur, berputar dan berlari ke pinggir, mencari Thor. Ia berdiri di sana, menuduk ke arah air dan memekik.

Thor menggapai dan meraih tangan salah seorang rekannya, dan baru saja menarik dirinya sendiri ke perahu kerika tiba-tiba ia merasa sesuatu yang kuat dan berotot melilitkan diri di pergelangan kaki dan pahanya. Ia memutar tubuhnya dan melihat ke bawah, hatinya membeku ketika ia melihat sesosok makhluk mirip seperti gurita berwarna hijau melilitkan tentakel di sekitar kakinya.

Thor menjerit kesakitan saat ia merasakan sengat makhluk itu menusuk dagingnya.

Thor menyadari jika ia tak melakukan sesuatu dengan cepat, ia akan mati. Dengan satu lengannya yang bebas, ia mengulurkan tangan ke sabuknya, mengemuarkan sebuah belati pendek, mencabutnya dan segera menusukkannya pada makhluk itu. Namun tentakel itu terlalu tebal, dan belati itu bahkan tak bisa menusuknya.

Makhluk itu marah. Kepalanya mendadak muncul ke permukaan, warnanya hijau, tanpa mata dan ada dua taring di lehernya yang panjang, satu di atas yang lainnya. Makhluk itu menganga memperlihatkan dua giginya yang tajam dan mendekat ke arah Thor. Thor merasa darah berhenti mengalir di kakinya, dan tahu ia harus segera bertindak. Seorang pemuda yang lebih tua berusaha menariknya, namun tangan Thor terlepas, dan ia kembali tercebur ke dalam air.

Krohn terus memekik, bulu-bulu di punggungnya berdiri, bersiap-siap masuk ke air. Namun Krohn tahu akan sia-sia menyerang makhluk itu.

Salah satu bocah senior maju ke depan dan berteriak:

“MERUNDUK!”

Thor merendahkan kepalanya saat seorang bocah melemparkan tombak. Tombak itu mendesis di udara namun meleset, melesat sia-sia dan tenggelam ke dalam air. Makhluk itu terlalu kecil, dan terlalu cepat.

Mendadak, Krohn melompat dari atas perahu dan kembali masuk ke dalam air, mendarat dengan taring terbuka dan menusukkan giginya yang tajam ke leher makhluk itu. Krohn menjepit dan mengayunkan makhluk itu ke kiri dan kanan, tidak melepaskannya.

Namun itu adalah sebuah pertempuran yang tak seimbang : kulit makhluk itu terlalu tebal dan terlalu berotot. Makhluk itu menghempaskan Krohn dari satu sisi ke sisi lainnya dan meleparkannya ke dalam air. Sementara itu makhluk mirip gurita semakin keras mencengkeram kaki Thor; sangat kuat sampai Thor merasa kehilangan oksigen. Tentakel itu membuatnya merasa terbakar, dan Thor merasa kakinya seperti hendak dicerabut dari tubuhnya.

Akhirnya, dengan putus asa, Thor membiarkan tangan seorang bocah yang hendak meraihnya dan pada saat yang sama bergerak ke samping, mencoba peraih pedang pendek di ikat pinggangnya.

Akan tetapi ia tak dapat meraihnya tepat waktu; ia tergelincir dan terjatuh dengan wajah pertama kali menghempas ke air.

Thor merasakan dirinya ditarik semakin jauh dari perahu. Makhluk itu menariknya semakin jauh ke dalam lautan. Ia ditarik ke belakang semakin cepat, dan ia menggapai-nggapai tanpa daya. Thor melihat perahu menghilang dari matanya. Berikutnya ia mengetahui dirinya telah ditarik jauh dari permukaan air, menuju kedalaman Laut Api.

BAB SEMBILAN

Gwendolyn berlari di padang rumput terbuka. Ayahnya, Raja MacGil, ada di sampingnya. Ia masih kecil, dan ayahnya juga tampak lebih muda. Jenggotnya pendek, dan tak ada jejak kelabu yang akan dimilikinya di kemudian hari, dan kulitnya bebas dari kerutan, lebih kencang dan bersinar. Ia tampak bahagia, tanpa beban dan tertawa lepas ketika ia memegang tangan putrinya dan berlari bersamanya di padang rumput. Inilah ayahnya dalam ingatan Gwendolyn.

Ia mengangkat dan menggendongnya di bahunya, berputar bersamanya lagi dan lagi, tertawa semakin keras dan Gwendolyn tertawa geli. Ia merasa aman dalam pelukan ayahnya, dan ia ingin saat ini tak pernah berakhir.

Namun ketika ayahnya menurunkan tubuhnya, sesuatu yang aneh terjadi. Mendadak hari berubah dari siang hari yang cerah menjadi senja. Ketika kaki Gwen menyentuh tanah, keduanya tak lagi menyentuh bunga-bunga di padang rumput. Namun terjebak dalam lumpur, hingga ke betisnya. Ayahnya kini terbaring di atas lumpur, beberapa kaki darinya – ia berubah menjadi tua, lebih tua dan sangat tua – dan ia terjebak di dalamnya. Di kejauhan tergoleklah makhkotanya yang berkilauan di tengah lumpur.

“Gwendolyn,” nafas ayahnya megap-megap. “Putriku. Tolonglah aku.”

Ia mengangkat tangannya, berusaha menggapai Gwendolyn dengan putus asa.

Gwendolyn berusaha keras untuk menolong ayahnya. Ia mencoba mendekatinya, untuk meraih tangan ayahnya. Namun kaki Gwen tak dapat digerakkan. Ia memandang ke bawah dan melihat lumpur di sekitarnya mulai mengeras, mengering dan memecah. Ia meronta-ronta, berusaha untuk membebaskan diri.

Gwen mengejapkan mata dan menemukan dirinya berdiri di dinding jembatan kastil. Ia memandangi ke bawah, ke Istana Raja. Ada sesuatu yang salah saat itu. Ia tidak melihat kemegahan dan keramaian seperti biasanya, namun kuburan yang terhampar luas. Apa yang tadinya adalah pelataran Istana Raja yang megah dan berkilauan kini telah berubah menjadi pemakaman, sejauh mata memandang.

Ia mendengar suara langkah kaki yang diseret, dan jantungnya berhenti berdetak ketika ia berputar dan melihat seorang pembunuh, mengenakan jubah dan tudung hitam, mendekatinya. Ia berlari cepat ke arah Gwen sampai tudung kepalanya terlepas dan menyingkapkan wajahnya yang buruk rupa, satu matanya hilang, meninggalkan bekas rongga yang dalam. Ia mendengus, mengangkat satu tangan yang memegang belati dengan hulu merah berkilauan.

Ia bergerak terlalu cepat dan Gwen tak dapat mendahuluinya. Ia meringkuk, sadar bahwa ia akan terbunuh seketika belati itu dihujamkan dengan kekuatan penuh.

Belati itu berhenti mendadak, hanya beberapa inci dari wajahnya. Gwen membuka matanya dan ia melihat ayahnya, yang telah menjadi mayat, menangkap pergelangan tangan pembunuh itu di udara. Ia mencengkeram tangan si pembunuh sampai ia menjatuhkan pisaunya, lalu menyentakkan bahu si pembunuh dan melemparkannya dari jembatan. Gwen mendengar teriakannya ketika ia melayang jatuh ke bawah.

Ayahnya berbalik dan memandangi ke arahnya; ia memegang bahunya keras dengan tangannya yang telah membusuk dan pandangan dingin.

“Di sini berbahaya untukmu,” ia memperingatkan. “Berbahaya!” teriak ayahnya, tangannya mencengkeram bahu Gwen terlalu kuat, sampai ia menjerit kesakitan.

Gwen terbangun sambil menjerit. Ia terduduk di tempat tidur, melihat ke sekeliling kamarnya, waswas terhadap kehadiran seorang penyerang.

Namun tak ada sesuatu pun di situ – hanya keheningan yang dalam menjelang fajar.

Dengan berkeringat dan nafas tersengal-sengal ia melompat dari tempat tidur, mengenakan gaun tidur dan bergegas keluar dari kamarnya. Ia berlari menuju sebuah wadah terbuat dari batu dan memercikkan air ke wajahnya berulang kali. Ia bersandar ke dinding, merasakan dinginnya batu di telapak kakinya di pagi musim panas yang hangat dan mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Mimpi itu terlalu nyata. Ia merasa itu lebih dari sekedar mimpi – sebuah peringatan dari ayahnya, sebuah pesan. Ia merasa harus segera meninggalkan Istana Raja sekarang, dan tak pernah kembali.

Ia tahu ia tak dapat melakukan itu. Ia harus menenangkan diri untuk mendapatkan kembali kecermelangan otaknya. Namun tiap kali ia mengejapkan matanya, ia melihat wajah ayahnya, merasakan peringatan darinya. Ia harus melakukan sesuatu untuk melupakan mimpi itu.

Gwen memandang keluar dan melihat matahari pertama baru saja terbit. Ia memikirkan satu-satunya tempat dimana ia dapat mendapatkan kembali ketenangannya: Sungai Kerajaan. Ya, ia harus pergi ke sana.

*

Gwendolyn menceburkan dirinya ke dalam dinginnya air Sungai Kerajaan, menutup hidungnya dan menundukkan kepalanya ke dalam air. Ia duduk dalam sebuah kolam renang kecil alami yang terbuat dari batu, tersembunyi dari mata air yang lebih tinggi. Ia telah menemukan tempat ini dan sering mendatanginya sejak ia masih kanak-kanak. Ia mengangkat kepalanya dari air dan berendam di sana, merasakan dinginnya air menetes dari rambut melewati kulit kepalanya, merasakan air membersihkan dan membasuh tubuhnya yang tanpa busana.

Ia telah menemukan tempat tersembunyi ini pada suatu hari, tersembunyi di tengah pepohonan, tinggi di pegunungan, sebuah lembah di mana arus sungai melambat dan membentuk sebuah kolam dalam dan tenang. Di atasnya, sungai mengalir dan terus mengalir di bawahnya. Di sini, di lembah ini, air terjebak dalam cekungan untuk sesaat. Kolam itu dalam, bebatuannya halus dan tempat itu sangat tersembunyi. Ia dapat mandi tanpa pakaian dengan tenang. Gwen datang ke tempat ini hampir setiap pagi di musim panas, begitu pagi tiba untuk menjernihkan pikirannya. Khususnya di hari seperti saat ini ketika mimpi menghantuinya seperti mimpi-mimpi lainnya, ini adalah salah satu tempat baginya menenangkan diri.

Sangat sulit bagi Gwen untuk menerima bahwa itu hanyalah sebuah mimpi, atau yang lainnya. Bagaimana ia dapat mengetahui ketika sebuah mimpi adalah sebuah pesan, suatu pertanda? Untuk mengetahui apakah ini hanyalah permainan dari pikirannya sendiri ataukah ia sedang diberi kesempatan untuk bertindak?

Gwendolyn mengangkat kepalanya untuk bernafas, menghirup udara di pagi hari yang hangat, mendengar suara kicauan burung di pepohonan sekitarnya. Ia bersandar di bebatuan, tubuhnya masih terendam hingga ke lehernya, duduk di langkan alami dalam air, berpikir. Ia mengangkat tangannya dan memercikkan air ke wajahnya, lalu mengusap rambut stroberinya yang panjang. Ia menunduk menatap permukaan air yang jernih, memantulkan langit dimana matahari kedua baru saja mulai terbit. Pepohonan membayangi air dan wajahnya sendiri. Matanya yang berwarna biru sebesar buah almon memandangi pantulan wajahnya sendiri. Ia dapat melihat ayahnya di kedua mata itu. Ia mengangkat wajahnya dan memikirkan kembali tentang mimpinya.

Ia tahu sangat berbahaya untuknya tetap tinggal di Istana Raja setelah pembunuhan ayahnya, dengan semua mata-mata dan rencana jahat – khususnya dengan Gareth sebagai raja. Kakaknya itu sangat tak terduga. Licik. Paranoid. Dan sangat, sangat iri hati. Gareth melihat semua orang sebagai ancaman – khususnya dirinya. Apa saja dapat terjadi. Ia tahu ia tidak aman berada di sini. Tak seorang pun akan aman.

Tapi ia tidak takut. Ia harus mengetahui dengan pasti siapa pembunuh ayahnya, dan jika itu adalah Gareth, ia tak akan lari sampai kakaknya itu mendapat hukuman Gwen tahu bahwa roh ayahnya tak akan beristirahat sampai pembunuhnya tertangkap. Keadilan telah ditegakkan ayahnya sepanjang hidupnya, dan ia, lebih dari siapapun, berhak mendapatkannya bahkan setelah kematiannya.

Gwen mengingat kembali pertemuannya dan Godfrey dengan Steffen. Ia merasa yakin Steffen menyembunyikan sesuatu, dan ia ingin tahu apakah itu. Sebagian dari dirinya merasa Steffen akan mengatakannya setelah saatnya tiba. Tapi bagaimana jika ia tidak? Ia merasa harus segera mencari siapa pembunuh ayahnya – tapi tak tahu lagi harus mencari kemana.

Gwendolyn akhirnya bangkit dari tempat duduknya di dalam air, naik ke tepi dengan tubuh telanjang, menggigil di udara pagi, tersembunyi di balik sebuah pohon besar, dan menggapai handuknya yang diletakkan di sebatang ranting, sebagaimana biasa dilakukannya.

Tapi ketika ia menggapainya, ia terkejut karena handuknya tak ada di sana. Ia berdiri di sana, telanjang, basah dan tak mengerti. Ia yakin ia telah menggantungkannya di sana seperti biasa.

Saat ia berdiri di sana, kebingungan, menggigil kedinginan, mencoba mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba, ia merasakan ada sebuah gerakan di belakangnya. Semuanya terjadi sangat cepat – samar-samar – dan sejenak kemudian jantungnya berhenti berdetak ketika ia menyadari ada seseorang sedang berdiri di belakangnya.

Kejadian itu berlangsung terlalu cepat. Dalam beberapa detik pria yang mengenakan jubah dan tudung hitam, persis seperti dalam mimpinya, telah berada di belakangnya. Ia menariknya dari belakang, dengan sebuah tangan kurus ia membekap mulut Gwen, meredam teriakannya dan memegangnya erat-erat. Ia menjulurkan tangannya yang lain dan memelintir pergelangan tangannya, mendorongnya hingga jatuh ke tanah.

Gwen meronta-ronta, berusaha untuk menjerit, sampai pria itu berhasil menundukkannya, dengan masih membekapnya erat. Gwen mencoba membebaskan diri dari cengkeraman pria itu, tapi ia terlalu kuat. Pria itu meraih sesuatu dan Gwen melihat ia memegang sebilah belati dengan hulu merah berkilauan – persis seperti dalam mimpinya. Ternyata benar mimpi itu sebuah peringatan untuknya.

Gwen merasa belati itu ditekankan ke tenggorokannya, dan pria itu mencengkeramnya keras untuk berjaga-jaga jika Gwen mencoba bergerak. Air mata menetes di pipinya ketika Gwen mencoba untuk bernafas. Ia merasa marah pada dirinya sendiri. Ia telah sangat bodoh. Ia seharusnya lebih waspada.

“Apakah kau mengenalku?” tanya pria itu.

Pria itu membungkuk ke depan dan Gwen merasakan nafasnya yang panas dan bau di pipinya, dan ia pun dapat melihat wajah pria itu. Jantungnya berhenti berdetak – itu adalah wajah yang sama dalam mimpinya, pria dengan satu mata dan bekas luka.

“Ya,” jawabnya dengan gemetar.

Itu adalah sebuah wajah yang sangat dikenalnya. Ia tak tahu siapa namanya, tapi Gwen tahu ia adalah pembunuh bayaran. Sejenis orang dari kelas bawah, satu dari beberapa orang yang sering bersama Gareth sejak masih kanak-kanak. Ia adalah orang suruhan Gareth. Gareth mengirim pria itu kepada siapapun yang ia inginkan untuk dilukai – disiksa atau dibunuh.

“Kau adalah anjing kakakku,” desis Gwen ke arahnya dengan nada menantang.

Pria itu tersenyum, dan tampaklah giginya yang ompong.

“Aku adalah utusannya,” kata pria itu. “Dan pesanku datang bersama sebuah senjata spesial untuk membantumu mengingatnya. Pesannya kepadamu hari ini adalah berhentilah bertanya. Kau akan dapat mengingatnya, karena saat aku selesai denganmu, sebuah luka akan aku tinggalkan di wajah cantikmu itu agar kau dapat mengingatnya seumur hidupmu.”

Ia mendengus, lalu mengangkat pisaunya tinggi-tinggi dan hendak menyentuh wajah Gwen.

"TIDAK!" jerit Gwen.

Ia menabahkan dirinya untuk sayatan pedih yang akan mengubah hidupnya.

Tapi ketika pisau itu sudah mendekat ke arahnya, sesuatu terjadi. Mendadak, terdengarlah suara burung memekik, terbang turun dari langit, meluncur turun ke arah pria itu. Gwen melihatnya sekilas dan mengenalinya:

Estopheles.

Burung itu terbang rendah, cakar-cakarnya muncul dan menggores wajah pria itu sampai belatinya terjatuh.

Belati itu baru saja hendak menyayat pipi Gwen, hendak menyiksanya dengan rasa sakit, ketika keadaan mendadak berubah; pria itu menjerit, menjatuhkan belati dan mengangkat tangannya. Gwen melihat seberkas cahaya di langit, matahari bersinar dari balik ranting pepohonan, dan saat Estopheles terbang menjauh, ia tahu bahwa ayahnya telah mengirimkan burung elang itu untuknya.

Gwen tak membuang waktu lagi. Ia berputar, mencondongkan tubuh ke belakang, dan seperti yang diajarkan para pelatihnya, ia menendang pria itu tepat di ulu hati dengan kaki telanjangnya. Pria itu jatuh berlutut akibat tendangan Gwen yang kuat dan diarahkan tepat kepadanya. Gwen telah mengetahuinya sejak masih kecil, bahwa ia tak perlu menjadi kuat untuk dapat menaklukkan seorang penjahat. Ia hanya perlu menggunakan bagian tubuhnya yang paling berotot – yaitu pahanya. Dan mengarahkannya ke sasaran dengan tepat.

Pria itu terguling. Gwen mundur beberapa langkah, menjambak rambutnya dan mengangkat lututnya – sekali lagi, dengan prakiraan yang tepat – dan ia menyarangkannya dengan tepat di sela-sela hidung pria itu.

Gwen dapat mendengar suara ‘krek’ yang melegakan dan merasakan darah panas pria itu muncrat membasahi kakinya, menodainya, sekaligus membuat pria itu tersungkur di tanah. Gwen tahu ia telah berhasil mematahkan hidung pria itu.

Gwen tahu ia seharusnya menghabisinya untuk selamanya, mengambil belati dan menghujamkannya ke dadanya.

Namun ia sedang berdiri di sana tanpa pakaian selembar pun, dan instingnya mengatakan ia harus segera berpakaian dan pergi. Ia tak ingin mengotori tangannya dengan darah pria itu, meski pria itu pantas mendapatkannya.

Akhirnya Gwen membungkuk, meraih belati dan melemparkannya ke dalam sungai, lalu mengenakan pakaiannya. Ia bersiap untuk pergi, namun sebelum ia melakukannya, ia berbalik dengan penuh amarah, dan menendang pria itu sekeras mungkin di bagian pangkal pahanya.

Pria itu berteriak kesakitan, dan menggulung tubuhnya seperti binatang yang terluka.

Di dalam hatinya Gwen merasa gemetar, menyadari betapa ia hampir saja terbunuh, atau berhasil dilukai. Ia masih merasakan goresan belati itu pada pipinya, dan menyadari bahwa ia mungkin saja akan terluka, sekecil apapun itu. Ia merasa terguncang. Namun ia tak akan membiarkan pria itu mengetahuinya. Karena pada saat yang sama, ia juga merasa sebuah kekuatan baru sedang memenuhi dirinya, kekuatan dari ayahnya, kekuatan dari tujuh generasi raja keturunan MacGil. Dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa dirinya ternyata sangat kuat. Sekuat saudara-saudara laki-lakinya. Sekuat tiap-tiap dari mereka.

Sebelum Gwen beranjak, ia membungkuk sehingga pria itu dapat mendengar bisikannya di sela-sela erangannya

“Mendekatlah padaku lagi,” geram Gwen pada pria itu, “dan kau akan kubunuh.”

Ücretsiz ön izlemeyi tamamladınız.

₺122,13
Yaş sınırı:
16+
Litres'teki yayın tarihi:
10 ekim 2019
Hacim:
273 s. 6 illüstrasyon
ISBN:
9781632912589
İndirme biçimi:
Metin
Ortalama puan 5, 1 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 2 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 3 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 4,8, 6 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 4,8, 6 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre