Kitabı oku: «Bangkitnya Para Naga», sayfa 18
BAB DUA PULUH ENAM
Kyra membuka matanya dalam ruang yang gelap; ia berbaring di atas lantai batu yang dingin, kepalanya terasa berat, sekujur tubuhnya terasa sakit dan ia bertanya-tanya tengah berada di manakah dirinya. Badannya menggigil karena kedinginan, tenggorokannya kering, rasanya seolah ia belum makan berhari-hari lamanya; ia mengulurkan tangan dan jemarinya meraba lantai batu di bawahnya, dan ia mencoba mengingat-ingat apa yang tengah terjadi.
Berbagai bayangan berkelebat dalam benaknya, dan mulanya ia tak yakin apakah bayangan-bayangan itu adalah ingatannya atau hanya sekadar mimpi buruknya. Ia teringat saat ditangkap oleh para Pasukan Pengawal, lantas dimasukkan ke dalam kereta, dan pintu jeruji besi dibanting di depannya. Ia ingat akan perjalanan yang panjang dan penuh guncangan, ia ingat sempat melawan saat pintu kereta dibuka, meronta berusaha melepaskan diri dan kepalanya dihantam dengan sebuah gada. Sayangnya, setelah kejadian itu semuanya terasa gelap.
Kyra mengulurkan tangan dan meraba benjolan di bagian belakang kepalanya, lantas ia sadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Semua itu nyata adanya. Dan itu adalah kenyataan yang pahit: ia tertangkap oleh Pasukan Pengawal, dilarikan dan dikurung.
Kyra geram kepada Maltren atas pengkhianatannya, dan marah pada dirinya sendiri karena begitu tolol memercayai omongan Maltren. Ia juga merasa khawatir, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia berbaring seorang diri di tempat itu, menjadi tawanan Tuan Gubernur, dan yang akan terjadi padanya hanyalah hal-hal yang buruk. Ia yakin ayahnya dan semua orang di benteng tak tahu di mana ia berada. Mungkin ayahnya mengira bahwa ia telah mematuhi perintahnya dan tengah pergi menuju ke Menara Ur. Maltren jelas akan berbohong dan berkata bahwa ia melihat Kyra pergi meninggalkan Volis.
Sembari bersusah payah memulihkan diri dalam kegelapan, naluri Kyra menuntun tangannya mengambil busur dan tongkatnya—namun kedua senjata itu tak ada lagi padanya. Ia mendongak dan melihat seberkas cahaya bersinar di antara sela-sela jeruji kurungan, lantas ia pun duduk dan melihat deretan obor pada dinding ruang kurungan bawah tanah, dan di atasnya berdiri beberapa prajurit yang berjaga dengan siaga. Ada sebuah pintu besi yang besar di tengah dinding, dan suasana di bawah situ sangat sepi, hanya terdengar bunyi tetes air dari atap, dan tikus yang mengerat di sudut gelap.
Kyra duduk bersandar di dinding, memeluk lutut yang ditempelkan ke dadanya agar tubuhnya terasa hangat. Ia memejamkan mata dan menarik nafas panjang, memaksa dirinya untuk membayangkan suatu tempat lain. Saat itu, ia melihat mata Theos yang tajam dan berwarna kuning tengah menatap padanya. Ia dapat mendengar suara naga itu dalam benaknya.
Kekuatan tidak muncul pada saat damai. Kekuatan muncul dalam kesulitan. Hadapilah kesulitanmu, jangan berlari darinya. Handa dengan demikian kau bisa mengatasinya.
Kyra membuka matanya lantaran terkejut atas bisikan yang baru didengarnya; ia memandang ke sekeliling dan berharap melihat Theos di depannya.
"Apakah kau melihatnya?" tanya sebuah suara perempuan di kegelapan yang membuat Kyra terlonjak kaget.
Kyra berputar dan tertegun mendengar suara orang lain di dalam kurungan ini, datangnya dari arah sudut yang gelap itu—dan ia lebih kaget lagi karena suara itu adalah suara seorang perempuan. Tampaknya perempuan itu masih seusia dirinya, dan saat sosoknya keluar dari sudut gelap, dugaan Kyra ternyata benar: ada seorang gadis cantik, usianya sekitar lima belas tahun, dengan mata dan rambut panjang berwarna coklat yang terikat; wajahnya lusuh dan pakaiannya compang-camping. Kyra takut saat gadis itu balas menatap matanya.
"Siapakah dirimu?" tanya Kyra.
"Pernahkah kau melihat dirinya?" tanya gadis itu dengan penasaran.
"Melihat siapa?"
"Anak laki-lakinya," balas gadis itu.
"Anak laki-lakinya?" tanya Kyra kebingungan.
Gadis itu berpaling dan memandang ke luar kurungan, ia ketakutan dan Kyra bertanya-tanya apa yang membuat gadis itu demikian takut.
"Aku belum melihat siapa pun," ujar Kyra.
"Ya Tuhan, kumohon, jangan biarkan mereka membunuhku," pinta gadis itu. "Kumohon. Aku benci tempat ini!"
Gadis itu mulai menangis sejadi-jadinya, ia terpuruk di lantai batu, dan Kyra yang tak sampai hati melihatnya pun bangkit, menghampiri lalu merangkulkan lengannya di bahu gadis itu untuk menenangkannya.
"Shhh," desis Kyra, berusaha untuk meredakan tangisnya. Belum pernah Kyra melihat seseorang seputus asa itu; gadis itu tampak sangat takut akan siapa pun yang tadi disebutnya. Dan kejadian itu membuat Kyra was-was atas apa yang akan terjadi.
"Katakan," ujar Kyra. "Siapa yang sedang kau bicarakan? Siapa yang menyakitimu? Apakah Tuan Gubernur? Siapakah dirimu? Mengapa kau berada di sini?"
Ia melihat lebam pada wajah gadis itu, bekas luka di bahunya dan Kyra mencoba tak membayangkan apa yang telah mereka perbuat pada gadis malang ini. Kyra menanti dengan sabar hingga tangis gadis itu reda.
"Namaku Dierdre," kata gadis itu. "Aku sudah dikurung selama...entahlah. Kurasa sudah selama satu purnama, namun aku tak ingat lagi sudah berapa lamakah ini. Mereka mengambilku dengan paksa sejak aturan baru itu diberlakukan. Aku mencoba melawan, namun mereka tetap membawaku kemari."
Tatapan Dierdre nanar saat mengisahkan kembali peristiwa itu.
"Siksaan selalu menantiku setiap hari," lanjutnya. "Mulanya anak lelaki itu, lalu ayahnya yang menyiksaku. Mereka mencampakkanku bagai boneka, dan sekarang...aku...tak ada artinya lagi."
Gadis itu menatap Kyra dengan tatapan tajam yang mengerikan.
"Sekarang ini aku hanya ingin mati," kata Dierdre. "Kumohon, tolonglah aku mencabut nyawaku."
Kyra memandang gadis itu dengan takut.
"Jangan bicara begitu," ujar Kyra.
"Aku mencoba merebut sebilah pisau untuk bunuh diri—namun pisau itu terlepas dari genggamanku dan mereka pun mengurungku lagi. Kumohon. Akan kuberikan apa pun padamu. Bunuhlah aku."
Kyra menggeleng, ia terperanjat.
"Dengarlah," ujar Kyra; ia merasakan sebuah kekuatan baru bangkit dari dalam dirinya, sebuah tekad baru yang muncul saat melihat kemalangan Dierdre itu. Itu adalah kekuatan warisan ayahnya, kekuatan para keturunan prajurit yang mengalir dalam darahnya. Dan lebih dari semua itu: itulah kekuatan naga. Kekuatan yang tak ia sadari ada dalam dirinya hingga hari ini.
Ia merengkuh bahu Dierdre dan menatap matanya, untuk menyelami hatinya.
“Kau tak akan mati,” Kata Kyra lembut. "Dan mereka takkan menyakitimu lagi. Kau mengerti? Kau akan tetap hidup. Kujamin itu."
Dierdere tampak lebih tenang, seakan menyerap kekuatan yang Kyra pancarkan.
"Apa pun yang telah mereka perbuat atas dirimu, kini semua itu adalah masa lalumu," lanjut Kyra. "Kau akan segera bebas—kita berdua akan bebas. Kau akan memulai lembaran hidupmu yang baru. Kita akan menjadi sahabat dan aku akan melindungimu. Apakah kau percaya padaku?"
Dierdre balas memandang dengan tatapan terkejut. Akhirnya ia pun mengangguk perlahan.
"Namun bagaimana caranya?" tanya Dierdre. "Kau tak mengerti. Tak ada jalan keluar dari tempat ini. Kau tak mengerti seperti apa kekejaman mereka—"
Mereka berdua lantas tersentak saat pintu besi itu terbuka dengan keras. Kyra melihat Tuan Gubernur melangkah masuk diikuti oleh selusin pasukannya, serta bersama seorang laki-laki yang tampak seperti kembarannya, dengan hidung bulat dan wajah sombong yang mirip dengannya, dan usianya sekitar tiga puluhan tahun. Laki-laki itu pasti adalah anaknya. Seringai, wajah bodoh dan pembawaan angkuhnya itu persis seperti ayahnya.
Mereka semua berjalan menyusuri ruang penjara bawah tanah dan mendekat ke jeruji kurungan, lalu anak buahnya mendekat dengan membawa obor untuk menerangi kurungan itu. Kyra memandang ke sekeliling dan terkejut melihat keadaan ruangan itu untuk kali pertama, darah tercecer di seluruh lantai. Ia tak ingin membayangkan siapa saja yang pernah dikurung di dalam situ—dan apa yang terjadi pada mereka.
"Bawa dia kemari," perintah Tuan Gubernur pada anak buahnya.
Pintu kurungan pun terbuka, dan para prajurit itu masuk dan menyeret kaki Kyra, dengan lengan terikat di belakang tubuhnya hingga ia tak dapat melepaskannya meski telah berusaha sekuat tenaga. Mereka membawanya mendekat ke Tuan Gubernur, lantas orang itu memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah Kyra hanyalah seekor serangga.
"Tidakkah aku telah memperingatkanmu?" katanya perlahan dengan suara dalam dan berat.
Kyra mengernyit.
"Hukum Pandesia mengizinkanmu untuk mengambil seorang gadis perawan sebagai istri, bukan tahanan," kata Kyra melawan. "Kau melanggar hukummu sendiri dengan mengurungku."
Tuan Gubernur bertukar pandang dengan anak buahnya, dan mereka semua pun tertawa.
"Jangan khawatir," katanya sembari menatap Kyra dengan marah, "Aku akan menjadikanmu istriku. Berkali-kali. Dan istri putraku pula—dan istri siapa pun yang kumau. Dan jika kami telah bosan denganmu, itu pun jika kami belum membunuhmu, maka aku akan membiarkanmu menikmati hidupmu di tempat ini."
Gubernur itu menyeringai licik; ia jelas menikmati hal ini.
"Dan tentang ayahmu dan semua orang di benteng itu," lanjutnya, "aku telah berubah pikiran: kami akan membantai semua orang yang ada di sana. Sebentar lagi mereka semua hanya akan tinggal kenangan. Dan sepertinya bukan hanya itu: aku akan memastikan Volis tak tercatat lagi dalam kisah-kisah sejarah. Saat ini, seluruh kesatuan dalam pasukan Pandesia tengah dalam perjalanan untuk membalaskan dendam para prajuritku yang tewas, dan kami akan menghancurkan benteng kalian."
Darah Kyra serasa mendidih. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan kekuatan ajaibnya, kekuatan apa pun itu yang telah membantunya saat pertempuran di jembatan itu, namun herannya, kekuatan itu tak kunjung timbul. Ia meronta dan melawan semampunya, namun tak juga ia bisa lepas.
"Kau punya semangat yang kuat," kata Gubernur itu. "Itu bagus. Aku akan menikmati rasanya mematahkan semangatmu. Aku akan sangat menikmatinya."
Ia berpaling seolah hendak pergi meninggalkannya, namun sekonyong-konyong, secara tak terduga ia berputar lalu menampar Kyra dengan punggung tangan sekuat tenaga.
Kyra sama sekali tak menduga akan mendapat tamparan seperti itu, dan tamparan itu mendarat di rahang Kyra lantas membuatnya roboh ke lantai, persis di sebelah Dierdre.
Kyra kesakitan, rahangnya nyeri bukan kepalang, ia terkapar dan menengadahkan kepalanya, melihat mereka semua berlalu. Setelah mereka meninggalkan kurungan itu dan mengunci pintunya, Tuan Gubernur berhenti, menempelkan wajahnya ke jeruji besi dan memandang Kyra.
"Aku menunggumu besok untuk menyiksamu," ujarnya sembari menyeringai. "Kurasa semua korbanku merasa lebih menderita setelah mereka melewatkan satu malam untuk memikirkan penderitaan yang akan mereka alami."
Tuan Gubernur tertawa puas dengan nyaring, lalu berbalik dan meninggalkan ruang bawah tanah itu diikuit oleh para pengawalnya; pintu besi yang besar itu pun dibanting dengan keras, bagai pintu peti mati yang ditutup rapat.
BAB DUA PULUH TUJUH
Merk berjalan menembus Hutan Akasia saat matahari terbenam; kakinya letih, perutnya kelaparan, dan ia berusaha yakin bahwa Menara Ur berada di suatu tempat di kaki langit, dan akhirnya ia pasti akan mencapainya. Ia berusaha memusatkan perhatiannya pada bayangan tentang seperti apakah hidupnya nanti ketika telah tiba di sana, bagaimana ia akan menjadi Sang Penjaga dan mengawali lembaran baru dalam hidupnya.
Namun ia tak sanggup. Sejak bertemu dengan gadis itu dan mendengar kisahnya, kejadian itu terus membebani pikirannya. Ia ingin menyingkirkan pikiran itu dari benaknya, namun setiap kali ia mencobanya, ia selalu gagal. Ia tak yakin apakah ia telah meninggalkan kehidupan yang penuh dengan kekerasan. Jika ia kembali untuk menolong gadis itu dan membunuh para bedebah itu, bilakah pembunuhan akan berakhir? Tidakkah akan datang pekerjaan baru dan alasan baru untuk membunuh lagi setelah ia membantunya?
Merk terus berjalan, menumpukan tongkatnya ke tanah, dedaunan di bawah kakinya bergemerisik; ia geram. Mengapa ia harus berjumpa dengan gadis itu? Hutan Akasia itu sedemikian luasnya—mengapa pula mereka bisa bertemu? Mengapa hidup ini selalu mendatangkan masalah padanya? Masalah-masalah yang di luar kuasanya?
Merk benci mengambil keputusan yang sulit, dan ia benci keragu-raguan; seumur hidupnya dijalani dengan merasa yakin akan segala sesuatu, dan ia merasa itu adalah salah satu kelebihan dalam dirinya. Dahulu, ia sangat mengenal dirinya sendiri. Namun kini, ia tak yakin lagi. Saat ini, ia merasa dirinya penuh dengan keraguan.
Ia mengutuk-ngutuk karena harus bertemu dengan gadis itu. Mengapa orang lain tak mampu mengurus masalahnya sendiri? Mengapa mereka selalu membutuhkan pertolongannya? Jika gadis itu dan keluarganya tak sanggup mempertahankan diri, lantas mengapa mereka masih pantas untuk hidup? Jika ia menyelamatkan mereka, tidakkah musuh-musuh yang lain toh akan menghabisi mereka, cepat atau lambat.
Tidak. Ia tak dapat menyelamatkan mereka. Itu sama saja dengan membuat mereka manja. Setiap orang harus belajar mempertahankan diri.
Lagipula, ia berpikir bahwa mungkin ada sebuah alasan mengapa gadis itu harus muncul di depannya. Mungkin saja dirinya tengah diuji.
Merk memandang ke angkasa, melihat semburat senja nan tipis yang terlukis di langit, terlihat samar-samar dari Hutan Akasia, dan ia masih terus bertanya-tanya tentang keyakinannya yang baru.
Diuji.
Sepatah kata yang penuh arti, gagasan yang sarat makna, dan ia tak menyukainya. Ia tak menyukai apa pun yang tak dapat dipahaminya, yang berada di luar kuasanya; dan mengalami ujian jelas merupakan salah satunya. Seiring setiap langkahnya dan tusukan tongkat pada dedaunan di tanah, Merk merasa hidup yang dijalaninya dengan telaten itu kini buyar. Dahulu, hidupnya terasa mudah; tapi kini, rasanya seperti sebuah pertanyaan yang tak mengenakkan baginya. Ia tahu bahwa merasa yakin pada segala sesuatu itu adalah sebuah hal yang mudah; namun mempertanyakan segala sesuatu, itu yang sulit. Ia telah meninggalkan hidup yang serba hitam dan putih, lalu masuk ke dalam hidup yang serba abu-abu, dan ketidakpastian semacam itu membuatnya gusar. Ia tak mengerti akan jadi apa dirinya nanti, dan itulah yang paling membuatnya cemas.
Merk mendaki sebuah bukit diiringi bunyi gersik dedaunan, nafasnya terengah-engah, namun bukan karena kelelahan. Saat tiba di puncaknya, ia berhenti dan mengedarkan pandangan, dan untuk kali pertama sejak ia memulai perjalanan ini, ia merasa mendapatkan secercah harapan. Ia nyaris tak dapat memercayai apa yang dilihatnya.
Jauh di kaki langit, berkilauan tertimpa cahaya senja, di sanalah letaknya. Bukan sekadar legenda, bukan mitos, namun nyata adanya: Menara Ur.
Berada di sebuah tanah lapang yang tak seberapa luas di tengah hutan belantara yang luas dan lebat, menara batu tua yang bulat itu menjulang, mungkin selebar seratus lima puluh kaki lebarnya, dan ujungnya muncul di antara barisan pepohonan. Menara itu adalah bangunan tertua yang pernah ia lihat, mungkin bahkan jauh lebih tua daripada kastil tempat ia pernah bekerja dulu. Menara itu memiliki aura misterius yang tak terpahami. Merk dapat merasakan betapa misteriusnya menara itu. Sebuah menara tempat yang menyimpan kekuatan.
Merk menghela nafas panjang, kelelahan sekaligus lega. Ia berhasil mencapainya. Melihat menara itu rasanya bagai tengah bermimpi. Akhirnya, akan ada sebuah tempat baginya di dunia ini, sebuah tempat yang akan menjadi rumahnya. Ia akan punya kesempatan untuk memulai lagi hidupnya dari awal, sebuah kesempatan untuk menebus segala dosanya. Ia akan menjadi Sang Penjaga.
Ia tahu bahwa dirinya akan merasa gembira luar biasa, akan melipatgandakan tenaganya dan segera menempuh sisa perjalanan itu sebelum malam tiba. Namun demikian, entah mengapa ia tak sanggup melangkahkan kakinya. Ia hanya berdiri membeku di situ, ada sesuatu yang membebani pikirannya.
Merk berpaling dan memandang ke seluruh penjuru kaki langit dengan leluasa, dan di kejauhan, di seberang matahari yang tengah terbenam, dilihatnya asap hitam membumbung tinggi. Pemandangan itu bagai menohoknya. Ia tahu ke mana asap itu mengarah: ke gadis itu. Gadis itu dan seluruh keluarganya. Para pembunuh itu tengah membumihanguskan segalanya.
Dari arah kepulan asap yang menghitam itu, ia tahu bahwa para pembunuh itu belum sampai di ladang keluarga si gadis itu. Mereka masih berjalan di pinggiran tanah kebun milik keluarganya. Tak lama lagi, mereka akan segera tiba di sana. Saat ini adalah menit-menit terakhir yang sangat menentukan, sebelum nyawa gadis itu terancam.
Merk menggeretakkan lehernya, seperti yang biasa ia lakukan saat pertentangan berkecamuk dalam hatinya. Merk mondar-mandir di situ, ia merasa gelisah dan ragu-ragu untuk melanjutkan langkahnya. Ia berbalik dan memandang Menara Ur, tujuan dari segala mimpinya, dan ia tahu bahwa ia harus melanjutkan langkahnya menuju ke sana. Ia telah sampai di tujuan, dan ia ingin beristirahat untuk merayakan pencapaiannya.
Namun untuk kali pertama dalam hidupnya, suatu gairah yang kuat muncul dari dalam dirinya. Sebuah gairah untuk bertindak tanpa pamrih, sebuah dorongan untuk melakukan sesuatu dengan tulus demi keadilan. Bukan demi upah dan penghargaan. Merk membenci perasaan semacam itu.
Ia menengadah dan berteriak, meluapkan pertentangan antara batin dan kenyataan yang ia hadapi di dunia. Mengapa? Mengapa harus sekarang, pada saat-saat seperti sekarang ini?
Sejurus kemudian, dengan tak memedulikan akal sehatnya, ia telah meninggalkan Menara Ur, menuju ke ladang milik keluarga gadis itu. Awalnya ia hanya berjalan kaki, lantas berlari kecil—hingga akhirnya ia berlari kencang.
Saat ia berlari itulah ada sesuatu dalam dirinya yang seakan terlepas dengan bebas. Soal Menara Ur masih bisa ditunda. Tetapi sekaranglah saatnya bagi Merk untuk melakukan hal yang benar di dunia. Inilah saatnya para pembunuh itu menemukan lawan yang sepadan.
BAB DUA PULUH DELAPAN
Kyra duduk bersandar pada dinding batu yang dingin, matanya terasa pedih saat memandang secercah cahaya fajar menerobos masuk lewat sela-sela jeruji besi, menerangi kurungan itu dengan sinar yang remang-remang. Ia terjaga sepanjang malam, benaknya terus memikirkan soal hukuman mengerikan yang akan diterimanya, persis seperti perkataan Tuan Gubernur. Ia membayangkan apa yang telah mereka lakukan pada Dierdre, dan berusaha untuk tak memikirkan apa yang akan dilakukan oleh orang-orang sekejam mereka untuk menghancurkan dirinya.
Dalam benaknya, terpikir seribu rencana untuk melawan dan melarikan diri. Jiwa prajurit dalam dirinya menolak untuk menyerah—lebih baik ia mati. Namun, sebanyak apa pun cara melawan dan melarikan diri yang ia pikirkan, semuanya berujung pada pupusnya harapan dan keputusasaan. Tempat ini dijaga lebih ketat daripada tempat lain mana pun yang pernah dilihatnya. Ia disekap di tengah-tengah benteng Tuan Gubernur, markas Pandesia, sebuah pangkalan pasukan yang ditempati oleh ribuan prajurit. Ia berada jauh dari Volis, dan meskipun ia berhasil melarikan diri, ia sadar ia takkan pernah kembali dengan selamat karena mereka pasti akan memburu dan membunuh dirinya. Itu pun seandainya Volis masih mengharapkan ia kembali. Atau lebih buruk lagi, ayahnya tak tahu di mana dirinya sekarang berada, dan ayahnya takkan pernah tahu. Ia benar-benar sebatang kara di tengah alam semesta ini.
"Tak bisa tidur?" sapa sebuah suara lembut memecahkan lamunannya.
Kyra memandang Dierdre yang tengah duduk bersandar pada dinding di seberang; wajahnya tertimpa cahaya fajar, tampak pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Ia tampak telah patah arang, dan ia memandang Kyra dengan tatapan mengerikan.
"Aku pun tak dapat tidur," lanjut Dierdre. "Sepanjang malam aku memikirkan apa yang akan mereka lakukan padamu—siksaan yang sama seperti yang mereka lakukan padaku. Namun entah mengapa, membayangkan mereka melakukannya padamu terasa jauh lebih menyedihkan daripada apa yang mereka lakukan padaku. Aku telah hancur; tak ada lagi yang tersisa dalam hidupku. Namun tidak dengan dirimu."
Kyra merasakan ketakutan yang semakin mendalam saat merenungkan kata-kata Dierdre itu. Ia tak sanggup membayangkan betapa ngeri segala yang telah dialami oleh kawan barunya itu, dan melihat keadaannya sekarang membuat Kyra semakin bertekad kuat untuk melawan.
"Pasti ada cara lain," kata Kyra.
Dierdre menggelengkan kepala.
"Hanya ada kehidupan yang menyedihkan di sini. Dan kemudian berlanjut dengan kematian."
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibanting di ujung penjara bawah tanah itu, lalu Kyra berdiri, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi, dan bersiap melawan hingga mati bila perlu. Dierdre sekonyong-konyong berdiri dan menghampirinya, lalu menarik sikunnya.
"Berjanjilah satu hal," desak Dierdre.
Kyra melihat keputusasaan tersirat di mata gadis itu, dan ia pun mengangguk.
"Sebelum mereka membawamu, bunuhlah aku," pintanya. Cekiklah aku jika perlu. Jangan biarkan aku hidup seperti ini lebih lama lagi. Tolonglah. Kumohon"
Tatkala Kyra balas menatapnya, ia merasakan tekadnya menjadi kuat dalam dirinya. Kyra mengesampingkan kekhawatirannya dan seluruh keraguannya sendiri. Ia sadar bahwa untuk saat itu ia harus terus bertahan hidup. Jika bukan demi dirinya sendiri, maka ia harus bertahan hidup demi Dierdre. Tak peduli betapa pun suram kehidupan ini, ia sadar bahwa ia tak boleh menyerah.
Para prajurit itu datang dengan derap sepatu yang bergema di seluruh ruangan; denting kunci beradu, dan Kyra sadar bahwa waktunya tak banyak lagi, lantas ia berpaling dan merangkul bahu Dierdre dengan erat sembari menatap matanya.
"Dengarkan aku," pinta Kyra bersungguh-sungguh. "Kau akan tetap hidup. Kau mengerti? Kau bukan hanya akan tetap hidup, namun kau akan melarikan diri bersamaku. Kau akan memulai hidupmu yang baru—dan hidup barumu akan terasa indah. Kita akan membalaskan dendam kepada seluruh bajingan yang telah melakukan ini semua padamu—kita berdua akan membalas mereka. kau mengerti?"
Dierdre balas menatapnya dengan bimbang.
"Kau harus tetap kuat," desak Kyra; sebenarnya ia sadar bahwa kata-kata itu pun ditujukan bagi dirinya sendiri. "Hidup ini bukan milik orang-orang lemah. Menyerah, lalu mati, begitulah orang yang lemah—namun hidup ini adalah milik orang-orang yang kuat. Apakah kau ingin menjadi lemah dan mati? Atau kau ingin menjadi kuat dan tetap hidup?"
Kyra masih menatap Dierdre lekat-lekat saat cahaya obor menerangi kurungan seiring dengan para prajurit yang telah tiba—dan akhirnya, Kyra pun melihat sesuatu tersirat dari mata Dierdre. Mata itu menyiratkan secercah harapan, dan Dierdre pun menganggukkan kepalanya dengan perlahan.
Kunci bergemerincing, pintu kurungan terbuka dan Kyra berbalik badan, melihat para prajurit yang datang mendekat. Tangan-tangan yang kasar dan kapalan menarik pergelangan tangannya, dan Kyra pun diseret keluar dari kurungan, lantas pintu pun terbanting keras di belakangnya. Ia menurut saja saat mereka menyeretnya. Ia harus menghemat tenaganya. Sekarang belumlah waktunya untuk melawan. Ia harus mengejutkan mereka, dan mencari saat yang tepat. Ia yakin, bahkan seorang lawan yang kuat pun selalu memiliki kelengahan.
Dua orang prajurit memeganginya, dan dari sela-sela jeruji besi muncullah seorang laki-laki yang samar-samar Kyra kenali: anak lelaki Tuan Gubernur.
Kyra mengerjapkan mata, ia heran.
"Ayahku mengutusku untuk membawamu," kata laki-laki itu seraya mendekat, "namun aku akan menyelesaikan urusanku denganmu terlebih dulu. Ayahku tentu takkan senang jika ia mengetahui hal ini—namun apa lagi yang bisa dilakukannya jika semua sudah terlambat?"
Wajah laki-laki itu pun berubah seiring senyumnya yang dingin dan licik.
Darah Kyra seolah mendidih saat ia memandang laki-laki yang menjijikkan ini, yang menjilat bibir dengan lidahnya dan mengamati dirinya lekat-lekat seolah Kyra hanyalah sebuah barang.
"Dengar," ujarnya sembari berjalan ke samping, lantas mulai menanggalkan mantel bulu yang dikenakannya, dengan nafas yang menguar di udara dalam kurungan yang dingin itu, "ayahku tak perlu tahu segala sesuatu yang terjadi di benteng ini. Kadang-kadang, aku ingin mencicipi terlebih dulu apa yang akan disajikan untuknya—dan kau sayangku, kau adalah sebuah sajian yang istimewa. Aku akan bersenang-senang denganmu. Lalu aku akan menyiksamu. Namun aku akan tetap membiarkanmu hidup, agar aku masih punya sesuatu untuk disuguhkan kepada ayahku."
Ia menyeringai; wajahnya begitu dekat dengan wajah Kyra, hingga Kyra dapat mencium bau nafasnya yang busuk.
"Sayang, kau dan aku akan menjadi sangat akrab."
Laki-laki itu lalu mengangguk, memberi isyarat pada dua prajurit pengawalnya, dan Kyra terkejut karena kedua prajurit itu melepaskan cengkeraman tangan mereka lalu beringsut mundur, masing-masing melangkah ke tepi dinding untuk memberinya ruang.
Kyra masih berdiri di situ dengan tangan yang terlepas bebas, dan diam-diam ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan, mengamati keadaan. Ada dua orang pengawal di situ, masing-masing membawa sebuah pedang panjang, dan laki-laki itu bertubuh jauh lebih tinggi dan lebih besar darinya. Ia takkan sanggup mengungguli mereka bertiga, meskipun bila ia memiliki senjata; sedangkan saat itu, ia tak memegang satu pun senjata.
Di sudut ruangan, ia melihat senjata-senjatanya tersandar di dinding—busur dan tongkatnya, serta sekantong penuh anak panah—dan jantungnya pun berdegup semakin kencang. Itulah ketiga senjata yang sangat didambakannya saat ini.
"Aah," kata laki-laki itu sembari tersenyum. "Kau mencari senjatamu. Kau masih merasa bisa selamat dari semua ini. Aku melihat semangat yang kuat dalam dirimu. Jangan khawatir, sebentar lagi aku akan memupusnya."
Sekonyong-konyong, laki-laki itu mengayunkan tangannya dan menampar Kyra dengan keras, hingga ia tercekat, dan seluruh wajahnya terasa sakit bukan main. Kyra terhuyung-huyung, jatuh berlutut, darah mengucur dari mulutnya; tamparan yang menyakitkan itu membuyarkannya, serasa berdenyut-denyut di telinga dan kepalanya. Kyra belum juga bangkit, masih berlutut dan bertumpu pada kedua tangannya; ia mencoba mengatur nafasnya, menyadari seperti itulah segala siksaan yang akan ia alami.
"Tahukah kau bagaimana kami menjinakkan kuda-kuda kami, sayang?" tanya laki-laki itu sembari berdiri di dekatnya dan tersenyum culas. Seorang pengawal melemparkan tongkat Kyra pada laki-laki itu, dan ia menangkapnya lalu seketika itu juga mengangkatnya tinggi-tinggi dan menghantamkannya pada punggung Kyra yang tak terlindungi.
Kyra terpekik karena nyeri luar biasa, lalu ia jatuh tersungkur dengan muka membentur lantai batu; serasa seluruh tulang di tubuhnya telah patah. Ia nyaris tak sanggup bernafas dan ia tahu bahwa jika tak segera berbuat sesuatu, maka ia siksaan itu akan membuatnya cacat seumur hidup.
"Jangan!" teriak Dierdre memohon dari balik jeruji besi. "Jangan sakiti dia! Siksalah saja aku!"
Namun laki-laki itu mengabaikannya.
"Semuanya diawali dengan tongkat ini," kata laki-laki itu pada Kyra. "Kuda-kuda liar akan melawan, namun jika kau terus memukulnya berulang kali, tanpa kenal ampun, setiap hari, maka suatu hari nanti kuda-kuda itu pun akan menyerah. Mereka akan menjadi milikmu. Tak ada yang lebih manjur daripada mendera makhluk lain dengan rasa sakit, bukan?"
Kyra merasakan gerakan laki-laki itu dari sudut matanya, tatkala ia mengangkat lagi tongkat itu dengan tatap mata kejam, bersiap hendak memukul lebih keras lagi.
Seluruh indera Kyra seketika menjadi lebih peka, dan waktu serasa berjalan melambat. Getaran yang ia rasakan saat bertempur di jembatan itu kini datang lagi; getaran hangat yang muncul dari dalam ulu hatinya lalu menyebar ke seluruh tubuh. Ia merasa tubuhnya penuh dengan energi, menjadi lebih kuat dan lebih cepat dari yang pernah ia rasakan.
Bayangan-bayangan kembali terlintas di matanya. Ia melihat dirinya tengah berlatih bersama para prajurit anak buah ayahnya, ia melihat dirinya saat berlatih tanpa henti, saat ia belajar menerima rasa sakit tanpa dan tak menjadi nanar, serta saat belajar bagaimana menyerang banyak musuh sekaligus. Anvin melatihnya dengan keras selama berjam-jam, hari demi hari hingga keterampilannya semakin sempurna, hingga akhirnya kepiawaian itu menyatu dalam dirinya. Ia terus mendesak Anvin untuk melatih seluruh keterampilannya, tak peduli seberapa beratnya latihan yang harus dijalani, dan semua ingatan itu kini muncul kembali dalam dirinya. Ia telah berlatih untuk menghadapi keadaan semacam ini.
Kyra masih terkapar di lantai dengan nyeri di punggungnya; getaran hangat itu menjalar ke seluruh tubuhnya, lantas Kyra memandang laki-laki itu dan ia merasa kini nalurinya mulai bekerja menggerakkan badannya. Ia pasti akan mati suatu saat nanti—namun bukan di tempat ini dan bukan hari ini—dan jelas tidak di tangan orang ini.
Ia teringat akan sebuah pelajaran dalam latihan dasarnya: Posisi tubuh yang dekat dengan tanah bisa memberikan keuntungan bagimu. Semakin tinggi lawanmu, semakin rentan pula pertahanannya. Kedua lututnya adalah sasaran yang empuk jika posisi tubuhmu dekat dengan tanah. Sambarlah kedua lutut itu. Maka lawanmu akan terjatuh.
Tatkala tongkat itu terayun hendak menghantamnya, Kyra secepat kilat menumpukan telapak tangannya ke lantai, lalu mendorong tubuhnya ke atas dan mengayunkan kakinya berputar dengan cepat dan tepat, mengincar bagian belakang lutut laki-laki itu. Dengan mencurahkan seluruh kekuatannya, sambaran kakinya pun mendarat tepat di titik lemah di belakang lutut itu.
Lutut laki-laki itu pun tertekuk dan tubuhnya terpelanting, lalu berdebam terjerembab dengan punggung membentur lantai, tongkat di genggamannya terlepas dan terpental di lantai. Kyra nyaris tak percaya serangannya itu berhasil. Tatkala laki-laki itu jatuh, kepalanya pun menghantam lantai dan terdengarlah bunyi tulang tengkoraknya pecah; Kyra yakin laki-laki itu telah mampus.