Kitabı oku: «Bangkitnya Para Naga», sayfa 19

Yazı tipi:

Namun tampaknya ia adalah laki-laki yang tangguh, karena ia segera bangkit dan menatap Kyra dengan kebencian iblis jahanam yang tesirat di matanya, dan bersiap untuk menghantam lagi.

Kyra tak membuang-buang waktu. Ia berdiri dan segera mengambil tongkatnya yang tergeletak di lantai beberapa kaki jauhnya, karena ia tahu bahwa jika ia dapat mengambil senjatanya itu, maka ia masih punya kesempatan untuk melawan ketiga lawannya itu. Tetapi laki-laki itu pun melenting dan mengait kaki Kyra, berusaha untuk menjegalnya.

Kyra pun berkelit dengan lincah dan melompati laki-laki itu bagai seekor kucing, hingga jegalan itu meleset dan tubuh Kyra mendarat di lantai, lalu berguling di belakang laki-laki itu dan ia berhasil meraih tongkatnya.

Kyra berdiri sambil menggenggam tongkatnya dengan waspada; syukurlah ia bisa merebut kembali senjatanya, tongkat yang kini tergenggam erat di tangannya. Kedua pengawal itu pun menghampiri Kyra dengan pedang terhunus lalu mengepungnya; dengan cepat Kyra mengedarkan pandangan di antara kedua pengawal itu, bagaikan binatang terluka yang tengah tersudut. Ia sadar bahwa ia tadi sangat beruntung, karena semua itu terjadi begitu cepat hingga ia sempat mengambil tongkatnya sebelum kedua pengawal itu mengepungnya.

Laki-laki itu berdiri, mengusap darah di bibirnya dengan punggung tangan, dan menatap geram pada Kyra.

"Itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupmu," katanya. "Sekarang aku bukan hanya akan menyiksamu—"

Kyra sudah muak pada laki-laki itu, dan ia tak akan menunggu hingga orang itu menyerangnya terlebih dulu. Belum juga laki-laki itu selesai berbicara, Kyra menerjang, mengangkat tongkatnya dan menyodokkannya tepat di antara kedua mata laki-laki itu, bagai seekor ular tengah mematuk mangsanya. Pukulan itu mendarat dengan telak, dan laki-laki itu pun terpekik saat tulang hidungnya bergemeretak patah.

Ia terjatuh di lututnya, meraung dan memegangi hidungnya.

Kedua pengawal itu lantas menyerang Kyra, menebaskan pedang ke arah kepalanya. Kyra memutar tongkatnya dan menangkis salah satu pedang mereka, dan bunga api terpercik saat kedua senjata itu beradu, lantas seketika itu juga ia kembali berputar dan menangkis pedang pengawal yang satunya, tepat sebelum pedang itu menebas tubuhnya. Kyra berjibaku, menangkis serangan demi serangan, hingga akhirnya kedua pengawal itu menyerangnya dengan serentak, dan Kyra nyaris tak sempat mengelak.

Namun salah satu pengawal itu menebaskan pedang terlalu kuat dan Kyra melihat celah di pertahanannya: lantas diayunkannya tongkat itu dan ditebaskannya pada pergelangan tangan lawan, menghantam dan membuat pedang terlepas dari genggaman tangan pengawal itu. Tatkala pedangnya terlempar dan berdentang membentur lantai, Kyra menyambar ke samping ke arah tenggorokan pengawal yang lain, lalu berputar lagi dan memukul pelipis pengawal yang kehilangan pedangnya tadi hingga ia roboh.

Kyra tak menyia-nyiakan kesempatan: saat salah satu pengawal di belakangnya berusaha bangkit berdiri, ia melompat tinggi ke udara dan menghantamkan tongkatnya ke arah ulu hati orang itu—dan tepat saat pengawal itu berdiri, Kyra menendang mukanya dan membuatnya roboh tak berdaya. Seorang pengawal lainnya jatuh berguling sambil memegangi tenggorokannya dan berusaha berdiri lagi, Kyra memukul dan menerjang sisi belakang kepalanya, membuat pengawal itu terkapar.

Sekonyong-konyong Kyra merasakan dua lengan yang kekar membekapnya dari belakang, dan ia sadar bahwa laki-laki anak Tuan Gubernur itu yang menyerangnya; orang itu berusaha mencekik lehernya agar tongkat terlepas dari genggamannya.

"Usaha yang bagus," bisiknya di telinga Kyra; mulutnya berada sangat dekat dengan leher Kyra, hingga ia bisa merasakan nafasnya yang panas.

Getaran energi mengalir dalam tubuh Kyra dan memberikan kekuatan baru baginya, hingga ia mampu menyelipkan kedua tangannya di antara bekapan laki-laki itu, melipat sikunya dan melepaskan diri darinya. Kemudian Kyra meraih tongkatnya dan mengayunkannya ke belakang melewati kedua kakinya, lalu dengan kedua tangannya ia memukulkan tongkat itu ke selangkangan lawannya.

Laki-laki itu mengerang kesakitan, lalu bekapannya pun terlepas saat ia roboh di kedua lututnya, dan Kyra pun lantas berbalik lalu berdiri di dekat laki-laki yang kini tak berdaya dan memandang Kyra dengan tatapan terkejut serta kesakitan.

"Sampaikan salamku untuk ayahmu," kata Kyra sembari mengayunkan tongkat dan memukul kepala laki-laki itu sekuat tenaga.

Kali ini, laki-laki itu roboh ke lantai, tak sadarkan diri.

Dengan nafas yang masih terengah-engah dan masih diliputi amarah, Kyra mengamati korbannya: tiga laki-laki tangguh itu kini terkapar tak bergerak di lantai. Ia, gadis yang lemah itu, berhasil melakukannya.

"Kyra!" teriakan itu memanggilnya.

Ia berpaling dan teringat akan Dierdre, dan tanpa membuang waktu lagi, ia berlari ke seberang ruangan. Diambilnya kunci yang tergantung pada pinggang prajurit pengawal itu, lalu dibukanya gerendel kurungan dan seketika itu pula Dierdre berlari ke dalam pelukannya, lalu mendekapnya.

Kyra mendorong tubuh Dierdre dan menatap matanya, demi melihat apakah gadis itu telah benar-benar siap untuk melarikan diri.

"Sekaranglah saatnya," kata Kyra mantap. "Kau siap?"

Dierdre masih berdiri dengan gugup, memandangi mayat-mayat yang tergeletak di ruangan itu.

"Kau mengalahkan mereka semua," kata Dierdre sembari memandangi ketiga orang yang telah tak bernyawa itu dengan tatapan tak percaya. "Aku hampir tak percaya. Kau telah mengalahkan mereka."

Kyra melihat tatapan mata Dierdre perlahan berubah. Semua ketakutan itu seakan lenyap, dan kini Kyra melihat seorang gadis yang kuat dalam mata Dierdre, seorang perempuan yang berbeda dari Dierdre yang ia kenal. Melihat ketiga laki-laki itu terkapar tak sadarkan diri telah membuat Dierdre berubah, kekuatan barunya pun bangkit.

Dierdre berjalan menghampiri salah satu pedang yang tergeletak di lantai, mengambilnya dan mendatangi anak Tuan Gubernur yang masih terkapar tak sadarkan diri di lantai itu. Ia memandanginya, dan raut mukanya pun perlahan menyeringai.

"Ini balasan untuk semua yang pernah kau lakukan padaku," katanya.

Diangkatnya pedang itu dengan tangan gemetar, dan Kyra melihat sebuah pertentangan batin yang hebat dalam diri Dierdre tatkala ia tampak bimbang melanjutkan tindakannya.

"Dierdre," kata Kyra lembut.

Dierdre memandangnya, dengan kegetiran yang dalam tersirat di bola matanya.

"Jika kau melakukannya, maka kau sama saja dengan dirinya," kata Kyra lirih.

Dierdre berdiri dengan tangan yang bergetar hebat, perasaannya bergejolak, dan akhirnya diturunkannya pedang itu lalu dijatuhkannya ke lantai. Pedang itu jatuh berdentang dekat kakinya.

Ia meludahi muka laki-laki itu, lalu mengambil ancang-ancang dan menendang mukanya sekuat tenaga. Kyra mulai melihat betapa Dierdre adalah seorang gadis yang jauh lebih kuat daripada yang ia bayangkan.

Ia memandang Kyra dengan mata yang berbinar, semangatnya datang kembali, seolah Dierdre yang dahulu kini bangkit lagi.

"Marilah," kata Dierdre dengan suara yang mantap.

*

Kyra dan Dierdre berlari cepat menyusuri ruang bawah tanah itu menuju ke luar, dan mereka kini berada di tengah-tengah Argos, markas Pandesia sekaligus pangkalan pasukan Tuan Gubernur. Kyra mengerjapkan matanya yang silau oleh cahaya pagi; ia senang dapat melihat sinar matahari kembali meskipun cuaca di luar amat dingin, dan ia tahu bahwa ia tengah berada di antara deretan pos penjagaan berdinding batu, masing-masing dikelilingi oleh sebuah tembok batu yang tinggi dan sebuah gerbang yang besar. Para Pasukan Pengawal baru saja bangun dan mulai bersiaga di sekeliling barak; jumlah mereka pasti ribuan. Mereka adalah para prajurit terlatih dan tempat ini lebih mirip sebuah kota daripada desa.

Para prajurit berjaga di sepanjang dinding benteng, mengawasi kaki langit; tak satu pun dari mereka yang mengawasi sisi dalam benteng. Mereka tentu tak menduga ada dua orang gadis yang menyelinap melarikan diri di tengah-tengah mereka, dan keadaan yang demikian itu jelas menguntungkan bagi mereka berdua. Hari masih cukup gelap sehingga mereka masih bisa bersembunyi; lantas Kyra memandang ke depan, ke sebuah pintu masuk di ujung pelataran yang dijaga oleh para prajurit, dan ia sadar bahwa satu-satunya kesempatan mereka untuk melarikan diri adalah sekarang juga.

Namun pelataran itu terlalu luas untuk dilalui dengan berjalan kaki, dan ia tahu bahwa mereka takkan berhasil melakukannya—pun bila mereka berhasil, mereka pasti akan tertangkap basah setelah tiba di ujung pelataran.

"Di sana!" kata Dierdre sembari menunjuk sesuatu.

Kyra menoleh dan mengamati tempat itu; seekor kuda terikat di seberang pelataran, di sebelahnya ada seorang prajurit yang memegang tali kekangnya dan berdiri memunggungi mereka berdua.

Dierdre menoleh pada Kyra.

"Kita butuh seekor kuda," katanya. "Itulah satu-satunya cara melarikan diri."

Kyra mengangguk setuju, tak menduga bahwa pikiran mereka sama dan betapa Dierdre ternyata cukup tanggap. Tadinya Kyra menganggap Dierdre akan menjadi beban dalam pelarian itu, namun ternyata Dierdre adalah seorang gadis yang cerdas, cekatan dan tegas.

"Kau bisa melumpuhkannya?" tanya Dierdre sembari mengawasi prajurit itu.

Kyra menggenggam erat tongkatnya lalu mengangguk mantap.

Serentak mereka berlari keluar dari persembunyiannya dan diam-diam melintasi pelataran itu; jantung Kyra berdegup kencang saat perhatiannya terarah pada prajurit yang berdiri memunggunginya, dan mereka berdua semakin dekat dengannya—ia berharap semoga mereka tak tertangkap basah.

Kyra berlari secepat kilat hingga nafasnya tertahan, sambil berharap kakinya tak tergelincir di atas salju, dan ia tak lagi merasakan dinginnya cuaca karena adrenalin yang mengalir deras di dalam pembuluh darahnya.

Akhirnya ia tiba di tempat prajurit itu berdiri, dan seketika prajurit itu pun mendengar langkah mereka lalu berbalik

Namun Kyra telah siap bergerak, maka diangkatnya tongkat itu lalu dihantamkannya tepat pada ulu hatinya. Saat prajurit itu terpekik dan jatuh berlutut, Kyra mengayunkan tongkatnya dan memukul sisi belakang kepala prajurit itu—maka ia pun jatuh tersungkur dengan muka terjerembab ke salju, lalu tak sadarkan diri.

Kyra menunggangi kuda itu, sementara Dierdre melepas tali kekangnya lalu melompat duduk di belakang Kyra—mereka berdua pun segera memacu kuda itu.

Kyra merasakan dinginnya embusan angin menyibak rambutnya saat kuda itu berlari melintasi pelataran, menuju ke gerbang di ujung seberang, yang jauhnya sekitar tiga ratus kaki. Saat itu, para prajurit yang masih terkantuk-kantuk mulai mendengar keributan itu dan mereka pun berpaling ke arah mereka berdua.

"Hiish!" Kyra menghardik kuda yang ditungganginya agar berlari lebih cepat karena mereka semakin dekat dengan pintu gerbang.

Sebuah gapura batu yang berbentuk melengkung berdiri di depan mereka; jeruji besinya telah terbuka, menuju ke sebuah jembatan dan jantung Kyra berdegup semakin kencang melihat tanah terbuka di ujung jembatan. Ia melihat kebebasan.

Disepaknya kuat-kuat kuda itu karena para prajurit di pintu gerbangi itu telah melihat mereka berdua.

"HENTIKAN MEREKA!" teriak seorang prajurit di belakang mereka berdua.

Beberapa prajurit bergegas menuju ke engkol besi yang besar, dan Kyra pun was-was saat mereka mulai memutar engkol itu untuk menurunkan pintu jeruji besi. Kyra tahu bahwa jika pintu itu tertutup sebelum mereka berdua berhasil melewatinya, maka nyawa mereka akan habis. Jarak mereka tinggal enam puluh kaki lagi dan mereka pun memacu kuda lebih kencang lagi—namun jeruji-jeruji besi setinggi tiga puluh kaki itu tertutup dengan perlahan, turun satu kaki setiap kali engkol diputar.

"Merunduklah serendah mungkin!" teriaknya pada Dierdre, sembari membungkukkan badannya sendiri hingga wajahnya bersentuhan dengan surai kuda itu.

Kyra berpacu dengan cepat, degup jantungnya terasa berdenyut hingga ke telinga, dan seiring mereka mendekati gerbang itu, jeruji-jeruji pun nyaris tertutup sehingga ia harus benar-benar merunduk. Tinggal sedikit lagi, dan entah apakah mereka mampu melewatinya.

Dan tatkala mereka nyaris putus asa, kuda itu melenting melewati pintu gerbang, dan jeruji-jeruji besi berdebam tertutup tepat setelah mereka melewatinya. Sejurus kemudian mereka berdua telah berada di atas jembatan, dan Kyra benar-benar lega karena mereka berhasil meloloskan diri.

Terompet dibunyikan sahut-menyahut dari dalam benteng, dan sesaat kemudian Kyra menoleh saat mendengar desing anak panah yang melesat dekat dengan kepalanya.

Ia melihat para Pasukan Pengawal bersiaga di dinding benteng, menghujani mereka dengan panah. Ia memacu kudanya lebih cepat lagi, berkelit ke kanan dan kiri karena menyadari bahwa jarak mereka masih di dalam jangkauan bidikan para prajurit itu.

Mereka pun kini semakin jauh, mungkin sekitar seratus lima puluh kaki dari jembatan itu, sehingga sebagian besar anak panah itu tak dapat mengenai mereka lagi—namun tiba-tiba Kyra terkejut saat melihat sebuah anak panah menancap di punggung kuda itu. Kuda itu pun sontak berjingkrak—dan mereka berdua terlempar dari pelana.

Mata Kyra berkunang-kunang. Ia terjatuh ke tanah dengan keras, berguling-guling, dan kuda itu terjungkal di dekatnya, nyaris menimpa mereka berdua.

Kyra berlutut dan bertopang pada tangannya; ia masih limbung, kepalanya pening, kemudian ia menyapukan pandangan dan mendapati Dierdre di sampingnya. Kyra menoleh dan melihat pintu gerbang berjeruji itu tengah dibuka di kejauhan. Ratusan prajurit berjajar menunggu, dan saat pintu terbuka, mereka serentak berlarian keluar dari gerbang. Sepasukan penuh prajurit mengejar dan hendak membunuh mereka. Kyra heran bagaimana mereka bisa bersiaga secepat itu, namun akhirnya ia sadar bahwa mereka semua telah bersiaga sejak fajar menyingsing, siap menyerbu Volis.

Kyra berdiri memandangi kudanya yang telah mati, ia menatap tanah lapang yang terbentang di depannya, dan ia sadar, bahwa waktunya telah tiba juga akhirnya.

BAB DUA PULUH SEMBILAN

Aidan berjalan dengan tak sabar menuju ke kamar ayahnya bersama Leo di sampingnya; ia merasakan firasat yang begitu kuat bahwa ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi. Ia telah mencari-cari kakaknya, Kyra, di seluruh benteng, memeriksa seluruh tempat di mana Kyra biasa menyendiri—di gudang senjata, di bengkel pandai besi, di Gerbang Petarung—namun tak kunjung ia temukan. Ia dan Kyra memiliki ikatan yang kuat sejak lahir, dan ia selalu tahu jika ada sesuatu yang terjadi pada Kyra—dan kini ia merasakan adanya bahanya yang mengancam kakaknya. Kyra tak muncul saat jamuan makan, dan ia tahu bahwa kakaknya itu tak pernah melewatkan jamuan makan.

Yang lebih mencemaskan, Leo tak ikut bersama kakaknya—dan hal itu tak pernah sekalipun terjadi. Aidan telah berulang kali menanyai Leo, namun sayang serigala yang ingin memberitahukan sesuatu padanya itu tentu saja tak dapat berbicara. Ia hanya terus mengikuti Aidan dan tak sejengkal pun pergi darinya.

Aidan bersantap dengan gelisah, terus-menerus melihat ke arah pintu ruang jamuan, kalau-kalau ada tanda-tanda kemunculan Kyra. Ia telah berusaha memberitahu ayahnya saat makan malam, namun waktu itu Duncan dikelilingi oleh begitu banyak prajurit, dan mereka semua sibuk membicarakan tentang pertempuran yang akan mereka hadapi, sehingga tak ada yang menanggapi Aidan dengan bersungguh-sungguh.

Sejak fajar menyingsing, Aidan yang tak tidur semalaman langsung bangkit dari ranjang dan berlari ke jendela, melihat siapa tahu kakaknya muncul. Tetapi tetap saja Kyra tak ada. Ia berlari keluar dari kamar, menyusuri koridor, melewati para prajurit penjaga dan menuju ke kamar Kyra, dan ia tak sempat mengetuk pintu kamar itu, melainkan langsung mendorongkan bahu untuk membukanya dan berlari ke dalam kamar mencarinya.

Namun betapa kecewa hatinya saat mendapati ranjang itu kosong, masih tertata rapi sejak kemarin siang. Maka ia tahu pasti bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Aidan berlari di sepanjang koridor menuju ke kamar ayahnya, dan kini ia berdiri di depan pintu kamar yang besar, lantas memandang kedua penjaga di situ.

"Buka pintunya!" perintah Aidan.

Kedua penjaga itu saling berpandangan dengan bimbang.

"Ayahmu kelelahan," kata salah satu penjaga. "Ayahmu akan marah jika kau bangunkan."

"Hari ini mungkin akan pecah pertempuran," kata seorang penjaga yang lain. "Ia perlu beristirahat."

"Aku tak akan memintanya dua kali," kata Aidan bersikukuh.

Mereka berdua menatap Aidan dengan ragu, dan Aidan yang tak sabar lagi segera merangsek dan menggedor pintu kamar ayahnya.

"Heh!" seru salah satu penjaga.

Melihat kengototan itu, seorang penjaga yang lain berkata, "Baiklah—tapi kau harus bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Dan serigala itu tak boleh ikut masuk."

Leo menggeram, namun penjaga itu dengan enggan sedikit mendorong pintu agar Aidan bisa masuk, lalu menutupnya kembali.

Aidan segera menghampiri ranjang tempat ayahnya tidur dengan selimut bulu; ia mendengkur, dan seorang gadis peayan yang setengah telanjang berbaring di sebelahnya. Ia menarik bahu ayahnya dan mengguncang-guncangkannya berulang kali.

Akhirnya ayahnya membuka mata dengan kesal, lalu menatapnya seolah hendak menggamparnya. Namun Aidan tak gentar sedikit pun.

"Ayah, bangunlah sekarang juga!" desak Aidan. "Kyra hilang!"

Ayahnya tampak linglung, dan ia menatap kembali Aidan dengan mata merah, tampaknya ia baru saja mabuk semalaman.

"Hilang?" tanya ayahnya dengan suara berat dan kasar yang bergemuruh dari dalam dadanya. "Apa maksudmu?"

"Ia tak kembali ke kamarnya malam tadi Sesuatu telah terjadi padanya—aku yakin sekali. Siagakanlah anak buah ayah sekarang juga!"

Ayahnya pun duduk, kali ini tampak sigap; ia mengusap-usap wajahnya dan berusaha sepenuhnya terbangun dari tidurnya.

"Ayah yakin kakakmu baik-baik saja," kata ayahnya. "Ia selalu begitu. Ia berhasil selamat setelah bertemu dengan seekor naga—dan menurutmu badai salju kecil seperti itu akan membuatnya kalah? Hanya saja, ia saat ini berada di suatu tempat yang tak kau ketahui—ia memang suka pergi seorang diri. Sudahlah. Sekarang pergilah sebelum ayah meninjumu."

Namun Aidan tetap berdiri bergeming di situ, ia kesal.

"Jika ayah tak mau mencarinya, maka aku akan mencarinya sendiri," serunya lalu berbalik dan berlari meninggalkan kamar ayahnya, sembari berharap ayahnya akan mengerti maksudnya.

*

Aidan berdiri di luar gerbang Volis bersama Leo di sisinya; ia berdiri dengan gagah di jembatan dan memandang fajar mulai menyingsing di tepi desa. Ia mengamati kaki langit, kalau-kalau ada tanda-tanda keberadaan Kyra, sambil berharap bahwa kakaknya itu baru saja pulang dari berlatih memanah; namun ia tak melihatnya sama sekali. Kekhawatirannya pun memuncak. Ia telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya untuk membangunkan semua orang dan bertanya siapakah yang terakhir kali melihat Kyra, mulai dari kedua kakak laki-lakinya hingga tukang sembelih ternak. Akhirnya, salah seorang anak buah ayahnya berkata bahwa ia melihat Kyra mengendarai kuda menuju ke Hutan Akasia bersama Maltren.

Aidan menyisir seluruh penjuru benteng untuk mencari Maltren, dan orang-orang berkata bahwa Maltren pergi berburu pada pagi hari. Kini ia berdiri di situ, menunggu Maltren pulang, dan ia akan memberanikan diri untuk menanyainya dan mencari tahu apa yang terjadi pada Kyra.

Aidan berdiri dengan kaki berselimut salju, ia bergidik kedinginan namun ia tak peduli; tangannya berkacak pinggang, ia menunggu dan mengawasi, hingga akhirnya ia menyipitkan matanya saat melihat sesosok orang muncul dari kaki langit, berkendara di atas kudanya melintasi salju dan berpacu dengan cepat; orang itu mengenakan baju zirah milik anak buah ayahnya, dengan emblem naga yang berkilauan di bagian dadanya. Ia bersemangat demi melihat bahwa orang itu ternyata adalah Maltren.

Maltren berpacu dengan kencang menuju ke benteng, dengan seekor rusa terikat di punggung kudanya; dan saat ia mendekat, Aidan melihat tatapan sinis Maltren. Ia memandang Aidan dan berhenti dengan enggan di depannya.

"Minggirlah kau!" teriak Maltren. "Kau menghalangi jalanku."

Namun Aidan tetap berdiri di situ menantangnya.

"Di mana kakakku?" tanya Aidan.

Maltren balas menatapnya, dan Aidan melihat keragu-raguan tersirat di wajah Maltren.

"Mana aku tahu?" bentaknya. "Aku adalah seorang prajurit—aku tidak ikut-ikutan bermain dengan para gadis."

Namun Aidan tetap bersikeras.

"Orang-orang berkata terakhir kali melihatnya bersamamu. Di manakah dia?" ulangnya sekali lagi dengan tegas.

Aidan heran akan suaranya yang berwibawa, yang mengingatkannya pada suara ayahnya, meskipun ia masih terlalu muda dan suaranya belum seberat suara ayahnya yang sangat ia kagumi.

Kata-katanya itu mulai didengarkan oleh Maltren, karena Maltren perlahan turun dari kudanya; matanya menyiratkan amarah dan kesabaran yang telah habis, lalu Maltren berjalan menghampiri Aidan dengan mengerikan, dan baju zirahnya berdentang-dentang seiring langkahnya. Saat Maltren mendekat, Leo menggeram dengan buas hingga Maltren pun berhenti beberapa kaki di depan Aidan, dan pandangannya beralih-alih dari serigala itu ke Aidan.

Ia menyeringai pada Aidan yang bercucuran keringat dingin; dan meski Aidan berusaha tidak memperlihatkan ketakutannya, namun harus diakuinya bahwa dirinya ketakutan. Syukurlah ada Leo di sisinya.

"Tahukah kau apa hukuman bagi orang yang membantah anak buah ayahmu?" tanya Maltren dengan suara seram.

"Ia adalah ayahku," Aidan bersikukuh. "Dan Kyra pun adalah putrinya. Sekarang katakan, di mana ia berada?"

Aidan diam-diam gemetar—namun ia takkan sudi menyerah—tidak pada saat Kyra tengah terancam bahaya seperti ini.

Maltren memandang ke sekeliling; ia jelas tengah memeriksa apakah ada orang lain yang melihat mereka berdua. Puas karena ternyata tak ada orang lain yang melihat mereka, Maltren mendekati Aidan lalu tersenyum dan berkata:

"Kujual kakakmu pada Tuan Gubernur—demi imbalan yang menggiurkan. Ia adalah seorang pengkhianat dan biang onar—seperti dirimu."

Mata Aidan terbelalak karena terkejut dan marah atas pengkhianatan Maltren itu.

"Dan untukmu," ujar Maltren sembari meraih dan mencengkeram baju Aidan lalu menariknya. Jantung Aidan berdegup kencang saat melihat Maltren meraih belati yang terselip di ikat pinggangnya. "Tahukah kau berapa banyak pemuda yang mati di parit ini setiap tahun? Sungguh malang nasib mereka. Jembatan ini terlalu licin, dan bibir parit itu terlalu curam. Takkan ada yang menduga bahwa kematianmu ini bukan karena jatuh tak sengaja."

Aidan mencoba berontak melepaskan diri, namun cengkeraman Maltren terlalu kuat. Ia panik karena tahu ia akan mati.

Tiba-tiba Leo menggeram dan menerjang Maltren, lau menggigit pergelangan kakinya. Maltren melepaskan Aidan dan hendak menghunjamkan belatinya pada serigala itu.

"JANGAAN!" teriak Aidan.

Terompet dibunyikan, diikuti oleh kuda-kuda yang berpacu melintasi pintu gerbang lalu berlari kencang melewati jembatan, dan Maltren pun berhenti dengan belati yang masih terhunus. Aidan berpaling dan hatinya pun terasa lega saat melihat melihat ayahnya dan kedua kakaknya mendekat, diikuti oleh selusin pasukan dengan busur yang telah siap dibidikkan pada dada Maltren.

Aidan pun lepas dari cengeramannya dan Maltren hanya bisa berdiri di situ, tampak ketakutan dengan belati yang terhunus di tangan; ia tertangkap basah. Aidan menjentikkan jarinya dan Leo pun mundur.

Duncan turun dari kudanya dan mendekat bersama para anak buahnya; seketika itu pula, Aidan berpaling pada ayahnya.

"Ayah lihat sendiri! Sudah kubilang! Kyra hilang. Dan Maltren yang mengkhianatinya—ia menjual Kyra pada Tuan Gubernur!"

Duncan maju dan ketegangan pun memuncak saat para anak buahnya mengepung Maltren. Ia melirik kudanya dengan gugup, bimbang hendak mencoba melarikan diri, namun para prajurit itu pun segera mendekat dan memegang tali kekangnya.

Maltren memandang Duncan dengan gelisah.

"Kau hendak menyakiti putraku bukan?" tanya ayahnya sembari menatap lekat-lekat kedua mata Maltren; ayahnya berbicara dengan tegas dan dingin.

Maltren tercekat dan tak mampu berkata-kata.

Duncan perlahan menghunus pedangnya dan mengarahkannya ke tenggorokan Maltren; matanya menyiratkan bahwa ia siap mencabut nyawanya.

"Kau akan menuntun kami kepada Kyra," ujarnya, "dan itu akan jadi pekerjaan terakhir sebelum aku membunuhmu."

Yaş sınırı:
16+
Litres'teki yayın tarihi:
10 ekim 2019
Hacim:
334 s. 7 illüstrasyon
ISBN:
9781632914804
İndirme biçimi:
Serideki Birinci kitap "Raja dan Penyihir"
Serinin tüm kitapları
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 3 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 4,8, 6 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 4,8, 6 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 1 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 2 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre