Kitabı oku: «Perjuangan Para Pahlawan», sayfa 10

Yazı tipi:

Ia merasakan tubuhnya menghangat, tergelitik, dan saat ia memusatkan, ia merasakan sesuatu terjadi. Ia merasa dapat mengendalikannya.

Tiba-tiba pedang itu berhenti di udara. Thor entah bagaimana berhasil menghentikannya menggunakan kekuatannya.

Elden yang memegang pedang itu, bingung, Thor kemudian menggunakan kekuatan pikirannya untuk mencengkram dan memelintir pergelangan tangan Elden. Ia memelintirnya lebih keras lagi dalam pikirannya, dan dalam sekejap, Elden menjerit dan menjatuhkan pedangnya.

Semua terdiam, mereka berdiri, membeku, mengamati Thor, mata terbuka lebar karena terkejut dan takut.

“Ia setan!” teriak seseorang.

“Penyihir!” teriak yang lainnya.

Thor terlalu berlebihan. Ia tidak paham atas apa yang telah ia lakukan. Tapi ia tahu itu tidaklah normal. Ia merasa bangga dan malu, berani dan takut.

Kolk melangkah maju, masuk ke dalam lingkaran, berdiri di antara Thor dan Elden.

“Tidak ada tempat untuk sihir, nak, siapapun kau,” Kolk mengecam Thor. “Iniadalah tempat untuk bertarung. Kau melanggar hokum pertarungan kami. Kau akan memikirkan apa yang telah kau lakukan. Aku akan mengirimmu ke tempat di mana ada bahaya yang sesungguhnya, dan kita akan melihat seberapa bagus mantra-mantramu melindungimu di sana. Melaporlah ke penjaga patroli di Ngarai.”

Ada napas tertahan di antara Legiun, dan mereka semua terdiam. Thor tidak mengerti dengan tepat apa yang ia maksud, tapi ia tahu bahwa apapun itu, bukanlah hal yang bagus.

“Anda tidak bisa mengirimnya ke Ngarai!” protes Reece. “Ia terlalu muda. Ia bisa terluka.”

“Aku bisa melakukan apapun yang aku mau, nak.” Kolk menyeringai pada Reece. “Ayahmu tidak di sini untuk melindungimu sekarang. Atau dia. Dan aku yang mengelola Legiun ini. Dan kau sebaiknya memikirkan ucapanmu – hanya karena kau adalah keluarga kerajaan, jangan kira kau bisa berbicara seperti itu lagi.”

“Baik,” jawab Reece. “Maka aku akan bergabung dengannya!”

“Aku juga!” timpal O’Connor, melangkah maju.

Kolk menatap mereka, dan menggelengkan kepalanya perlahan-lahan.

“Bodoh. Itu adalah pilihanmu. Bergabunglah dengannya jika kau ingin.”

Kolk menoleh dan melihat Elden. “Jangan kira kau bisa kabur dengan mudah, kalian berdua.” Kata Kolk padanya. “Kau yang memulai pertarungan ini. Kau harus membayar harganya juga. Kau akan bergabung dengan mereka untuk berpatroli malam ini.”

“Tapi tuan, Anda tidak bisa mengirim saya ke Ngarai!” protes Elden, matanya melebar karena takut. Ini adalah pertama kalinya Thor melihat Elden takut akan sesuatu.

Kolk mengambil selangkah ke maju, mendekati Elden, dan mengangkat tangannya ke pinggangnya. “Masa?” katanya. “Aku tidak hanya bisa mengirimmu ke sana – aku juga bisa mengirimmu jauh demi kebaikan, keluar dari Legiun ini, dan ke jangkauan terjauh dari kerajaan kita jika kau terus membantahku.”

Elden melihat ke sekeliling, terlalu bingung untuk menjawabnya.

“Siapa lagi yang ingin bergabung dengan mereka?" seru Kolk.

Anak-anak lelaki lain yang lebih besar, lebih tua dan lebih kuat, semuanya melihat ke sekeliling dengan takut. Thor menelan ludah saat ia melihat ke sekeliling pada wajah-wajah yang gelisah, dan bertanya-tanya akan seberapa buruk Ngarai itu.

BAB LIMA BELAS

Thor melangkahkan kakinya di sepanjang jalan berlumpur, diapit oleh Reece, O’Connor danElden. Keempatnya tak mengucap sepatah kata pun sejak berangkat, masih terguncang. thor menatap ke arah Reece dan O’Connor dengan penuh rasa terima kasih, meski ia belum mengenal mereka. Ia heran mengapa mereka mempertaruhkan nyawa mereka sendiri demi dirinya. Ia merasa telah menemukan teman sejatinya, yang bagaikan saudara. Ia tak tahu apa yang menunggu mereka di Ngarai. Tapi apapun yang harus mereka hadapi, ia bahagia telah memiliki mereka bersamanya.

Thor berusaha tak melihat ke arah Elden. Ia dapat melihatnya menendang bebatuan kecil, terbakar amarah, dapat melihat betapa kesal dan marahnya ia dikirim kemari, berpatroli bersama mereka. Tapi Thor tak merasa kasihan terhadapnya. Seperti yang dikatakan Kolk, dialah yang memulai semuanya. Ini balasan yang setimpal untuknya.

Mereka berempat, kelompok yang kacau balau itu, menyusuri jalan, mengikuti petunjuk arah. Mereka telah berjalan berjam-jam, dan hari telah senja. Kaki Thor mulai terasa lelah. Ia juga merasa lapar. Ia hanya menyantap semangkuk kecil sereal rebus saat makan siang dan berharap ada makanan yang menanti di tempat tujuan.

Tapi ia punya kekhawatiran yang lebih besar dari itu. Ia memandang ke bawah ke arah senjata barunya. Dan ia tahu senjata itu tak akan diberikan kepadanya begitu saja tanpa alasan. Sebelum berangkat, keempatnya telah diberi perlengkapan prajurit baru: pakaian kulit dan baju zirah. Mereka juga diberi semacam pedang pendek yang terbuat dari logam yang kasar – jelas bukan tandingan baja terbaik yang ditempa menjadi pedang seorang ksatria, tapi masih lebih baik daripada tak memiliki sebilah senjatapun. Rasanya nyaman memiliki senjata sungguhan terselip di pinggangnya – tentu saja pedang itu masih berada dalam sarungnya. Meski ia tahu bahwa mereka mungkin akan menyongsong bahaya yang sesungguhnya nanti malam, senjata dan baju zirah yang mereka kenakan mungkin tidak cukup. Ia menginginkan baju zirah dan senjata terbaik untuknya dan teman-temannya di Legiun: pedang sedang dan panjang dari logam terbaik, tombak pendek, gada, pisau belati, tombak panjang. Namun peralatan semacam ini hanya dimiliki para bocah yang kaya dan terhormat dari keluarga bangsawan, yang dapat mempunyai uanguntuk membeli peralatan semacam itu. Dan bukan Thor, anak gembala yang miskin.

Ketika mereka berjalan di sepanjang jalan tak berujung menuju matahari terbenam kedua, jauh dari pintu gerbang selamat datang istana Raja, menuju Ngarai yang teramat jauh, Thor tak dapat berhenti merasa bahwa ini semua adalah salahnya. Untuk beberapa alasan, anggota Legiun yang lain tampak tidak menyukainya, seakan mereka tak menghendaki kehadirannya. Itu tak masuk akal. Dan hal itu telah membuatnya merasa sedih. Seumur hidupnya ia tak menginginkan apapun kecuali bergabung bersama mereka. Sekarang, ia merasa bersalah karena berbuat curang untuk dapat bergabung dengan Legiun. Akankah kehadirannya akan benar-benar diterima oleh rekan-rekannya?

Kini, terlebih lagi, dirinyalah yang satu-satunya dikirm untuk bertugas di Ngarai. Itu tidak adil. Ia tidak memulai perkelahian itu. Dan saat ia menggunakan kekuatannya, apapun itu, ia tak benar-benar bermaksud menggunakannya. Ia tak dapat memahami apa itu, dan darimana kekuatan itu berasal. Ia tak tahu bagaimana cara memanggil kekuatannya, atau bagaimana cara menghentikannya. Ia tak seharusnya dihukum karena itu.

Thor tak paham apakah artinya ditugaskan di Ngarai. Namun dari ekspresi wajah semua orang, jelas bahwa tak seorang pun menginginkannya. Ia bertanya-tanya apakah ia sedang menuju suatu tempat untuk dibunuh, apakah ini cara mereka untuk mengeluarkannya dari Legiun. Thor memutuskan untuk tidak menyerah.

“Seberapa jauhkah Ngarai itu?” tanya O’Connor memecah keheningan.

“Tidak jauh lagi,” jawab Elden. “Kita tak akan berada dalam kekacauan ini jika bukan karena Thor.”

“Kau yang memulainya, ingat?” potong Reece.

“Tapi aku bertarung dengan jujur, dan ia tidak,” protes Elden. “Lagipula, ia pantas mendapatkannya.”

“Mengapa?” tanya Thor, menginginkan jawaban yang membuatnya penasaran untuk sesaat. “Mengapa aku layak mendapatkannya?”

“Karena tempatmu bukan di sini bersama kami. Kau mencuri posisi dalam Legiun. Kami semua dipilih. Kau merebut jalan dengan berkelahi untuk bisa bergabung dengan kami.”

“Namun, bukankah itu yang dilakukan Legiun? Berkelahi?” jawab Reece. “Aku bisa bilang bahwa Thor layak mendapatkan tempat di Legiun lebih daripada siapapun dari kami. Kami hanya ditunjuk. Sedangkan dia harus berjuang dan bertarung untuk mendapatkan apa yang tak diberikan kepadanya.”

Elden mengangkat bahunya, merasa jemu.

“Peraturan tetap peraturan. Ia tidak dipilih. Ia tak seharusnya bersama kita. Itu alasan mengapa aku menentangnya.”

“Yah, itu tak akan membuatku pergi,” jawab Thor, suaranya bergetar, memutuskan berupaya untuk dapat diterima.

“Kita lihat saja nanti,” gumam Elden berat.

“Apa maksudmu?” tanya O’Connor.

Elden tidak berkata-kata lagi, ia berjalan dalam diam. Perut Thor terasa tegang. Ia merasa dirinya telah memiliki banyak musuh, dan ia tak tahu apa sebabnya. Ia tak menyukai perasaan ini.

“Tak usah pedulikan dia,” kata Reece pada Thor, cukup keras sehingga yang lain bisa mendengarnya. “Kau tidak berbuat salah. Mereka mengirimmu ke Ngarai karena mereka melihat adanya potensi dalam dirimu. Mereka ingin membuatmu lebih kuat atau menjadi lebih dari yang mereka harapkan. Kau juga berada dalam pengawasan mereka karena ayahku memperhatikanmu. Itu saja.”

“Tapi apa itu tugas Ngarai?” tanyanya.

Reece menelan ludahnya, tampak risau.

“Aku belum pernah ikut serta di dalamnya. Tapi aku mendengar beberapa kisah. Dari anak-anak yang lebih tua dan dari kakak-kakakku. Itu adalah tugas patroli. Tapi di sisi lain dari Ngarai.”

“Sisi lain?” tanya O’Connor, terdengar ketakutan dalam suaranya.

“Apa maksudmu dengan ‘sisi lain’?” tanya Thor tak mengerti.

Reece menatap ke arahnya.

“Pernahkah kau pergi ke Ngarai?”

Thor dapat merasakan yang lainnya memandang ke arahnya. Dan, dengan canggung digelengkannya kepalanya.

“Yang benar saja,” cela Elden.

“Benarkah?” tanya O’Connor. “Sekalipun belum pernah?”

Thor menggelengkan kepalanya, wajahnya memerah karena malu. “Ayahku tak pernah membawa kami pergi kemana pun. Aku hanya pernah mendengarnya.”

“Jadi dia belum pernah kesana,” tambah Elden sungguh-sungguh. “Tak masuk akal.”

“Diamlah,” kata Reece. “ Biarkan ia sendiri. Itu tak membuatmu lebih baik daripadanya.”

Elden menyeringai ke arah Reece dan meletakkan tangan ke sarung pedangnya, namun kemudian melepaskannya. Tampaknya, meski ia bertubuh lebih besar daripada Reece, ia tak ingin bertengkar dengan anak raja.

“Ngarai adalah satu-satunya hal yang membuat Kerajaan Cincin kita tetap aman,” jelas Reece. “Tak ada hal lain kecuali Ngarai yang memisahkan kita dengan kaum biadab sedunia. Jika mereka, kaum bengis dari Daerah Liar mampu menerobosnya, kita semua akan binasa. Seisi Kerajaan Cincin mengandalkan kita, prajurit Raja, untuk menjaga mereka. Kami mempunyai pasukan patroli yang menjaganya setiap saat – umumnya di bagian dalam, dan kadang-kadang, di sisi lain atau di bagian luar. Hanya ada satu jembatan untuk menyeberang, satu-satunya jalan masuk dan keluar, dan semua anggota elit Kesatuan Perak berkeliling menjaganya.”

Thor sudah pernah mendengar tentang Ngarai sepanjang hidupnya. Ia telah mendengar cerita-cerita menakutkan tentang iblis yang mengintai di bagian luar, kerajaan besar iblis yang mengepung Kerajaan Cincin, dan betapa dekat hidup mereka dengan teror. Itu adalah salah satu alasan mengapa ia ingin bergabung dengan Legiun Kerajaan: untuk membantu melindungi keluarga dan kerajaannya. Ia benci membayangkan ada orang-orang di sana yang menjaganya secara terus menerus, sementara ia hidup enak dan nyaman di dalam benteng kerajaan. Ia ingin berbuat sesuatu dan membantu memerangi para iblis. Ia dapat membayangkan betapa tak seorang pun yang lebih berani daripada para prajurit yang berjaga di sekeliling jalan masuk Ngarai.

“Ngarai ini bermil-mil lebarnya, dan mengelilingi seluruh Cincin,” jelas Reece. “Jelas tak mudah untuk menerobos masuk. Namun prajurit kami bukanlah satu satunya hal yang membuat para iblis tertahan di teluk. Ada ribuan makhluk semacam itu di luar sana, dan jika ingin menyerbu Ngarai ini, dengan kekuatan sihir mereka dapat melakukannya dalam sekejap. Kekuatan manusia kami hanya membantu menambah kekuatan energi pelindung di sekitar Ngarai. Kekuatan sejati yang membuat mereka tetap berada di teluk adalah kekuatan Pedang Takdir.”

Thor membalikkan badannya. “Pedang Takdir?”

Reece menatapnya.

“Pedang Takdir?”

“Anak kampung ini mungkin tak pernah mendengarnya,” ejek Eelden.

“Tentu saja aku tahu,” tukas Thor, membela diri. Ia bukannya tak mengetahuinya, namun ia menghabiskan banyak waktu untuk melamun tentang pedang legenda itu seumur hidupnya. Ia selalu ingin melihatnya. Pedang Takdir dalam dongeng, pedang ajaib yang energinya melindungi Cincin, yang memenuhi Ngarai dengan kekuatan tak terlihat yang melindungi Cincin dari serangan musuh.

"Apakah Pedang Takdir berada di Istana Raja?” tanya Thor.

Reece mengangguk.

“Pedang itu telah bersama keluarga kerajaan sejak beberapa benerasi. Tanpanya, kerajaan bukanlah apa-apa. Cincin akan dikalahkan.”

“Kalau kita sudah terlindungi, lalu mengapa harus berpatroli di sekitar Ngarai?” tanya Thor.

“Pedang Takdir hanya menghalangi ancaman-ancaman besar,” jelas Reece. “Bisa saja sesosok makhluk jahat kecil menyusup di sana sini. Untuk itulah para penjaga dibutuhkan. Satu atau beberapa orang dalam sebuah kelompok kecil dibutuhkan untuk meneyeberangi Ngarai. Mereka dapat berpatroli secara terang-terangan dengan menyeberangi jembatan. Atau secara sembunyi-sembunyi dengan menuruni Nagarai dan menaiki sisi lainnya. Sudah menjadi tugas kami untuk membuat mereka tetap berada di luar Ngarai. Meski hanya satu makhluk, itu pun bisa sangat membahayakan. Bertahun-tahun yang lalu, sesosok makhluk berhasi menyusup dan membantai separuh anak-anak yang tinggal di sebuah desa sebelum ia tertangkap. Pedang Takdir memang mampu melakukan pekerjaan besar, namun kita tak boleh tinggal diam.”

Thor mendengarkannya saksama, keheranan. Ngarai tampaknya sangat luas, tugas mereka sangat penting, ia hampir tak percaya dirinya menjadi bagian dari sebuah tugas mulia.

“Meski demikian aku belum menjelaskan tentang satu hal,” kata Reece. “Ngarai lebih daripada semua itu.” Lalu terdiam.

Thor memandangnya dan melihat sesuatu, seperti rasa takut atau takjub dalam matanya.

“Bagaimana ya cara menjelaskannya?” Reece berpikir keras mencari kata-kata yang tepat. Ia menelan ludahnya. “Ngarai jauh lebih besar dari kita semua. Ngarai adalah …”

“Ngarai adalah tempat untuk pria sejati,” tiba-tiba terdengar suara yang bergema.

Mereka semua menoleh ke arah asal suara, ke arah suara derap kaki kuda.

Mata Thor melebar. Berlari kecil ke arah mereka, mengenakan baju zirah lengkap, dengan senjata panjang mengkipal yang menggantung di sisi kudanya yang gagah, datanglah Erec. Ia tersenyum ke arah mereka, matanya menatap ke arah Thor.

Thor mengangkat wajahnya terkejut.

“Inilah tempat yang akan membuat kalian menjadi pria sejati,” tambah Erec. “jika kalian belum menjadi pria.”

Thor belum berjumpa dengan Erec lagi sejak pertandingan duel di istana, dan ia merasa lega dengan kehadirannya. Memiliki seorang ksatria sejati di sini bersama mereka yang sedang berangkat menuju Ngarai – tidak main-main, itu adalah Erec sendiri. Thor merasa telah terhubung dengannya secara batiniah, karena ia telah berdoa Erec hadir menemani mereka.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Thor. “Apakah kau akan menemani kami?” tanyanya, berusaha menyembunyikan keinginannya.

“Jangan khawatir, anak muda,” katanya. “Aku akan pergi bersamamu.”

“Sungguh?” tanya Reece.

“Ada tradisi anggota Kesatuan Perak menemani anggota Legiun yang melakukan patrol pertama mereka. Aku mengajukan diri.”

Erec menundukkan mukanya melihat ke arah Thor.

“Lagipula kau membantuku kemarin.”

Thor merasa lega karena mendapat dukungan oleh karena kehadiran Erec. Ia juga merasa terangkat derajatnya di hadapan teman-temannya. Di sinilah ia sekarang, didampingi ksatria terbaik kerajaan dalam perjalanan menuju Ngarai. Rasa takutnya pun perlahan menghilang.

“Tentu saja, aku tak seharusnya pergi berpatroli bersamamu,” tambah Erec. “Namun aku akan membimbing kalian menyeberang jembatan menuju kamp kalian. Dari sana kalian akan mengadu nasib dengan melakukan patroli.”

“Itu merupakan suatu kebanggaan untuk kami, Tuan,” kata Reece.

“Terima kasih,” kata O’Connor dan Elden bersamaan.

Erec menunduk memandang Thor dan tersenyum.

“Lagipula aku tak bisa membiarkanmu mati jika kau akan menjadi pengawal pertamaku.”

“Pengawal pertama?” tanya Thor, hatinya berdebar-debar.

“Kaki Feithgold patah saat pertandingan duel. Ia akan beristirahat selama delapan minggu. Kau adalah pengawal pertamaku sekarang. Latihan kita mungkin akan segera dimulai, bukankah begitu?”

“Tentu saja, Tuan,” jawab Thor.

Pikiran Thor melayang-layang. Untuk pertama kalinya ia merasa nasib baik berpihak kepadanya. Sekarang ia adalah pengawal pertama ksatria terhebat sepanjang masa. Ia merasa telah membuat lompatan besar dibandingkan teman-temannya.

Kelimanya terus melangkahkan kaki, menuju ke arah barat di mana matahari terbenam. Erec berjalan perlahan di sisi mereka di atas keduanya.

“Apakah Anda sering pergi ke Ngarai, Tuan?” tanya Thor.

“Sering sekali,” jawab Erec. “Aku seusiamu saat aku melakukan patroli pertamaku.”

“Dan apa yang kau rasakan?” tanya Reece.

Keempat anak lelaki itu berbalik dan menatap Erec, menanti dengan penuh harap. Erec mengendarai kudanya selama beberapa saat dalam keheningan, menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras.

“Tugas patroli pertama kalinya adalah sebuah pengalaman yang tak akan pernah kau lupakan. Kita mendatangi suatu tempat yang aneh, asing, misterius dan menakjubkan. Di sisi lain terbujur bahaya yang tak dapat dibayangkan. Jembatan yang digunakan untuk menyeberang itu sangat panjang dan curam. Ada banyak dari kami yang berpatroli – tapi kau akan selalu merasa sendirian. Semua terjadi secara alami. Pengalaman yang akan mengeluarkan seorang pria dari bayang-bayang. Orang-orang kita telah berpatroli di sekelilingnya selama ratusan tahun. Dan ini adalah semacam upacara penyambutan. Kau tak akan dapat memahami bahaya yang sesungguhnya tanpa menjalani penugasan patroli pertama. Dan kau tak akan menjadi ksatria tanpa melakukannya.”

Ia kembali terdiam. Keempatnya saling memandang dengan ngeri.

“Apakah kami harus bersiap-siap menghadapi serangan makhluk jahat di luar?” tanya Thor.

Erec mengangkat bahunya.

“Apapun bisa terjadi, begitu kau sampai di daerah Liar. Memang tidak akan selalu seperti itu. Tapi mungkin saja.”

Erec memandang ke arah Thor.

“Apakah kau ingin menjadi prajurit yang hebat, dan suatu saat nanti, seorang ksatria yang hebat?” tanyanya sambil memandang Thor.

Jantung Thor berdetak cepat.

“Ya, Tuan. Lebih dari segalanya.”

“Kalau begitu ada beberapa hal yang harus kau ketahui,” kata Erec. “Kekuatan saja tidak cukup; ketangkasan tidak cukup; menjadi seorang petarung yang tangguh juga tidak cukup. Ada hal lain, sesuatu yang lebih penting daripada semuanya.”

Erec terdiam lagi, dan Thor tak dapat menunggunya lebih lama.

“Apa?” tanya Thor. “Apakah hal yang paling penting itu?”

“Kau harus memiliki semangat yang kuat,” Jawab Erec. “Tidak kenal takut. Kau harus memasuki hutan yang paling gelap, pertempuran yang paling berbahaya, dengan benar-benar tenang. Tidak pernah takut, selalu berjaga-jaga. Tak pernah lengah, selalu waspada. Kau tak bisa terus mengharapkan belas kasih orang lain untuk melindungimu lagi. Kau bukan lagi warga negara biasa. Kau salah seorang dari orang-orang kepercayaan Raja. Hal yang membuat seseorang menjadi pejuang sejati adalah keberanian dan kesabaran. Jangan takut terhadap bahaya. Namun jangan mencarinya juga.

“Daerah Cincin yang kita tinggali,” tambah Erec, “dan kerajaan kita, seakan-akan kita dan semua orang-orang kita, melindunginya dari serangan bangasa luar. Padahal tidak. Kita dilindungi oleh Ngarai, dan juga oleh sihir yang terdapat di dalamnya. Kita tinggal di dalam Cincin sihir. Jangan lupakan itu. Kita hidup dan mati oleh sihir. Tapi tidak ada jaminan keamanan di sisi lain Ngarai. Lupakan sihir, lupakan mantra-mantra, dan kita tidak punya apapun.”

Mereka berjalan tampa berbicara sepatah kata pun untuk beberapa saat. Ia merasa seakan-akan Erec sedang memberikannya suatu pesan tersembunyi. Seakan-akan ia mengatakan pada Thor bahwa kekuatan apapun yang dimilikinya, mantra-mantra apa yang telah digunakannya, dan ia tak perlu malu terhadap hal itu. Sebaliknya, hal itu adalah sesuatu hal yang dapat dibanggakan, dan Pedang itu adalah sumber dari semua energi di dalam kerajaan. Thor merasa lebih baik. Ia tadi merasa bahwa penugasannya ke Ngarai adalah sebuah hukuman karena telah menggunakan mantra, dan ia merasa bersalah karenanya. Namun, sekarang ia yakin kepada kekuatannya, atau apapun itu, karena kekuatan dapat menjadi sebuah sumber kebanggaan.

Ketika anak lelaki lainnya berjalan terlebih dahulu dan Erec serta Thor berjalan berdampingan, Erec memandang ke arahnya.

“Kau pun sudah berhasil mendapatkan satu musuh yang cukup kuat di Istana,” katanya sambil tersenyum riang. “Sama banyaknya dengan jumlah teman yang kau miliki, kelihatannya sih.”

Wajah Thor memerah malu.

“Aku hanya tak tahu bagaimana harus bertindak, Tuan. Aku tak bermaksud pamer. “

“Seseorang menjadi musuh bukan hanya karena mereka bertujuan memusuhimu. Kadang-kadang mereka juga dikuasai oleh rasa tamak. Kau telah berupaya membuat kesepakatan. Dan hal ini bukan sesuatu yang jahat. Kau adalah pusat dari semua perdebatan.”

Thor menggaruk kepalanya, mencoba untuk memahami perkataan Erec.

“Tapi mengapa?”

Erec masih tampak riang.

“Bahkan Sang Ratu sendirilah yang akan memimpin musuh-musuhmu. Kau telah membuatnya kesal.”

“Ibuku?” tanya Reece. “Mengapa?”

“Aku pun bertanya-tanya tentang itu,” kata Erec.

Thor merasa tidak baik. Sang Ratu? Musuh? Apa yang telah ia lakukan kepadanya? Ia tak dapat membayangkannya. Mengapa ia menjadi sangat penting hingga Sang Ratu memperhatikannya? Ia benar-benar sulit mengira, apa yang sedang terjadi menimpanya.

Tiba-tiba, sadarlah ia akan suatu hal.

“Apakah ia yang menyebabkan aku dikirim ke sini? Untuk berpatroli di Ngarai, begitu?”

Erec mengangkat wajahnya dan memandang lurus ke depan. Mimik wajahnya berubah serius.

“Bisa jadi,” katanya sambil merenung. “Bisa jadi begitu.”

Thor bertanya-tanya seberapa banyak dan dalamnya rasa permusuhan yang ia dapatkan. Ia telah terdampar di sebuah istana yang sama sekali tidak ia ketahui. Ia hanya ingin diterima. Ia hanya mengikuti cita-cita dan impiannya, dan telah melakukan apapun untuk meraihnya. Ia tidak berpikir bahwa dengan melakukan itu semua, ia telah mengakibatkan munculnya rasa iri dan dengki. Ia terus memikirkan hal itu dalam pikirannya, ibarat sebuah teka-teki, namun tak bisa mendapatkan jawabannya.

Ketika Thor sibuk merenungi hal itu, mereka sampai di puncak sebuah bukit kecil, dan pemandangan yang terhampar di depan mereka memusnahkan semua kegundahan. Napas Thor seperti berhenti sesaat – dan bukan karena angin yang sedang bertiup kencang.

Terhampar luas di hadapan mereka, sejauh mata memandang, di sanalah Ngarai berada. Itu adalah kali pertama Thor melihatnya, dan panorama membuatnya terpana hingga membuatnya berdiri mematung di tempatnya, tak mampu bergerak sama sekali. Panorama di bawahnya adalah hal mempesona dan paling agung yang pernah dilihatnya. Kedalaman jurang yang nampaknya seperti tanpa akhir, dihubungkan oleh satu-satunya jembatan sempit yang dipenuhi oleh prajurit. Dan jembatan itu nampak seperti memanjang hingga ke ujung bumi.

Ngarai itu memancarkan cahaya biru dan hijau dari mentari senja kedua, dan pantulan berkilauan terpancar dari dinding-dindingnya. Ketika Thor telah dapat merasakan kakinya kembali, ia mulai berjalan bersama yang lainnya, kian mendekati jembatan hingga ia dapat melihat ke bawah, jauh ke dalam tebing-tebing Ngarai dan seakan terjun ke dasar perut bumi. Thor tak dapat melihat dasarnya, dan ia tak tahu apakah tempat itu memang benar-benar tak memiliki dasar jurang, atau karena kabut yang menutupinya. Bebatuan di tebing tampaknya berumur jutaan tahun, dibentuk oleh pola yang dimulai sejak berabad lampau. Ini adalah tempat tertua yang pernah dilihatnya. Ia tak tahu bahwa planet ini begitu luas, menakjubkan dan bernyawa.

Seakan-akan ia telah mendatangi tempat dimulainya penciptaan.

Thor mendengar yang lainnya juga tertegun keheranan.

Bayangan mereka tentang berpatroli di Ngarai tampaknya menggelikan. Mereka merasa kerdil bahkan dengan hanya melihat tempat itu.

Saat mereka berjalan mendekati jembatan, para prajurit minggir ke sisi lainnya, tetap waspada dan memberi jalan bagi kelompok patroli baru. Thor merasa jantungnya berdebar cepat.

“Aku tak tahu bagaimana kita berempat dapat berpatroli di sini,” kata O’Connor.

Elden terkekeh. “Ada banyak kelompok patroli di sini selain kita. Kita lebih mirip sebuah gigi di dalam mesin.”

Ketika mereka berjalan menyeberangi jembatan, satu-satunya suara yang terdengar adalah hembusan angin, langkah sepatu bot mereka, dan kuda Erec berjalan bersama. Tapak kaki kuda meninggalkan sebuah lubang dan suara yang menentramkan. Satu-satunya hal yang membuat Thor dapat bertahan di tempat yang hampir tidak nyata ini.

Tak seorang pun prajurit yang mengetahui kehadiran Erec mengatakan sepatah kata, mereka terus berjaga. Mereka pasti telah melewati ratusan prajurit di sana.

Thor tak dapat menghindarkan matanya dari pemandangan di sisi sebelah mereka. Kepala para penyusup barbar ditancapkan pada tonggak setiap beberapa kaki di sepanjang jembatan. Beberapa di antaranya masih segar dan masih meneteskan darah.

Thor memalingkan wajahnya. Ini semua tampak terlalu nyata. Ia tak tahu apakah ia siap untuk ini. Ia mencoba untuk tak membayangkan berapa banyak makhluk jahat yang awalnya adalah pemilik kepala-kepala itu, nyawa yang telah hilang, dan apa yang menunggunya di sisi lain Ngarai. Ia bertanya-tanya apakah mereka dapat pulang dengan selamat. Apakah tujuan dari ekspedisi ini? Untuk membunuhnya?

Ia memandang dari tepi jurang, ke arah tebing-tebing tanpa akhir yang perlahan menghilang, dan mendengar lengkingan burung di kejauhan, suara burung yang belum pernah didengarnya. Ia heran jenis apakah burung itu, dan apakah binatang eksotis lain yang menanti di sisi lain.

Namun, bukanlah para binatang atau kepala-kepala tertancap di tonggak yang membuatnya risau. Lebih dari semua itu adalah perasaan tentang tempat ini. Ia tak dapat mengatakan apakah itu karena kabut, atau hembusan angin, atau luasnya langit, atau cahaya mentari senja – namun sesuatu mengenai tempat ini hampir-hampir tidak masuk akal. Membuatnya terhanyut dan menyusut. Ia merasakan sebuah energi magis yang sangat kuat berada di atas mereka. Ia bertanya-tanya apakah itu adalah lapisan pelindung yang dibuat oleh Pedang Takdir, atau kekuatan purba lainnya. Ia merasa seakan ia tidak hanya menyeberangi suatu dataran yang luas, namun juga menyeberangi dunia lain.

Beberapa hari yang lalu ia masih menggembalakan biri-biri di desa kecilnya. Semua tampak tak bisa dipercaya saat ini. Untuk pertama kalinya, ia akan menghabiskan malam di sisi lain Ngarai dengan tanpa perlindungan Perisai.

Yaş sınırı:
16+
Litres'teki yayın tarihi:
10 ekim 2019
Hacim:
323 s. 6 illüstrasyon
ISBN:
9781632910950
İndirme biçimi:
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Ses
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin PDF
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Ses
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 3 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 4,8, 6 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 4,8, 6 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 1 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 2 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre