Kitabı oku: «Perjuangan Para Pahlawan», sayfa 9

Yazı tipi:

BAB DUA BELAS

Gareth berdiri dalam kerumunan pasar, mengenakan jubah meskipun bawah terik matahari, berkeringat di bawahnya, dan mencoba untuk tidak diketahui identitasnya. Dia selalu berusaha untuk menghindari bagian dari Istana Raja ini, rute lorong-lorong yang penuh sesak, yang berbau kemanusiaan dan orang biasa. Semua di sekelilingnya adalah orang yang tawar-menawar, berdagang, berusaha untuk menarik minat satu sama lain. Gareth berdiri di sebuah kios di sudut, pura-pura tertarik pada penjaja buah, menjaga kepalanya tetap menunduk. Berdiri hanya beberapa meter jauhnya adalah Firth, di ujung gang gelap, melakukan apa yang telah mereka rencanakan untuk dilakukan.

Gareth berdiri dalam jangkauan pendengaran percakapan, tetap memunggungi mereka agar tidak terlihat. Firth telah mengatakan padanya, seorang pria, tentara bayaran, yang akan menjual padanya sebuah botol racun. Gareth ingin sesuatu yang kuat, sesuatu yang pasti untuk melakukan intrik. Tidak ada peluang bisa diambil. Toh, hidupnya sendiri yang ia pertaruhkan.

Ini adalah sesuatu yang sulit ia minta pada tukang obat. Ia telah menyuruh Firth melakukan tugas itu, yang melaporkan kembali padanya setelah mencoba pasar gelap. Setelah banyak menunjukkan jalan, Firth telah memimpin mereka pada orang berkarakter serampangan ini, yang dengan siapa ia saat ini berbicara diam-diam di ujung gang. Gareth telah bersikeras datang untuk transaksi akhir mereka, untuk memastikan semua berjalan dengan lancer, untuk memastikan dia tidak sedang ditipu dan diberi ramuan palsu. Ia masih belum sepenuhnya yakin akan kompetensi Firth. Dalam beberapa hal, ia harus mengurus dirinya sendiri.

Mereka telah menunggu pria ini selama setengah jam, Gareth berdesak-desakan dalam pasar yang sibuk, berdoa ia tidak dikenali. Bahkan jika ia dikenali, ia pikir, selama ia memunggungi gang itu, jika seseorang mengetahui siapa dia, ia bisa berjalan menjauh, dan tidak ada yang akan mengait-kaitkan.

“Di mana ramuannya?” Firth, hanya beberapa kaki jauhnya, bertanya pada orang dungu itu.

Gareth hanya menoleh sedikit, berhati-hati menjaga wajahnya tersembunyi, dan mengintip dari ujung jubahnya. Berdiri di hadapan Firth adalah pria yang tampak jahat itu, serampangan, terlalu kurus, dengan pipi cekung dan mata hitam yang besar. Ia terlihat seperti seekor tikus. Ia memandangi Firth tanpa berkedip.

“Mana uangnya?” jawabnya.

Gareth berharap Firth akan menangani hal ini dengan baik; ia biasanya berhasil mengacaukan berbagai hal entah kenapa.

“Aku akan memberikan padamu uangnya saat kau berikan botol kecilnya padaku.” desak Firth.

Bagus, pikir Gareth, mengagumkan.

Ada beberapa saat hening, lalu:

“Berikan padaku separuh uangnya sekarang, dan aku akan mengatakan padamu di mana ramuannya.”

“Di mana ramuannya?” ulang Firth, suaranya meninggi karena terkejut. “Kau bilang aku akan memilikinya.”

“Aku katakan kau akan memiliki ramuan itu, ya. Aku tidak mengatakan akan membawanya. Apa kau menganggapku bodoh? Mata-mata di mana-mana. Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan – tapi aku berasumsi itu bukanlah hal yang sepele. Selain itu, siapa lagi yang membeli ramuan racun?”

Firth berhenti sejenak, dan Gareth tahu ia tertangkap basah.

Akhirnya, Gareth mendengar suara dari kejauhan dari gemerincing koin, dan mengintip dan melihat emas kerajaan dikucurkan dari kantong Firth ke dalam telapak tangan pria itu.

Gareth menunggu, detik-detik meregang selamanya, meningkatkan kekhawatiran mereka akan ketahuan.

“Ambil jalan menuju Blackwood,” pria itu akhirnya menjawab. “Pada mil ketigamu, belok ke jalan setapak yang menuju ke bukit. Di atas bukit, belok lagi, kali ini ke kiri. Kau akan melewati hutan tergelap yang pernah kau lihat, kemudian sampai di tanah terbuka kecil. Pondok penyihir. Ia sudah menantimu – dengan ramuan yang kau inginkan.”

Gareth mengintip dari balik jubahnya, dan melihat Firth bersiap untuk pergi. Saat ia melakukannya, pria itu mengulurkan tangan dan tiba-tiba menyambar bajunya dengan keras.

“Uangnya,” geram pria itu. “Ini tidak cukup.”

Gareth bisa melihat ketakutan tersebar di seluruh wajar Firth, dan menyesal telah mengirimnya untuk pekerjaan ini. Karakter serampangan ini pasti telah mendeteksi ketakutannya – dan sekarang sedang mengambil keuntungan. Firth tidak cocok untuk hal semacam ini.

“Tapi aku memberimu dengan tepat apa yang kau minta,” protes Firth, suaranya naik terlalu tinggi. Ia terdengar seperti perempuan. Dan hal itu nampaknya memberi semangat pria itu.

Pria itu membalas dengan seringai, jahat.

“Tapi sekarang aku meminta lebih.”

Mata Firth terbuka lebar dengan ketakutan, dan ketidakpastian. Lalu, tiba-tiba Firth menoleh dan melihat langsung padanya.

Gareth berpaling, berharap tidak terlambat, berharap ia tidak ketahuan. Bagaimana Firth bisa jadi sangat bodoh? Ia berdoa semoga dia tidak melihatnya.

Jantung Gareth berderbar-debar saat ia menunggu. Ia dengan gelisah menunjuk buah itu, berpura-pura tertarik. Ada kesuyian tak berkesudahan di belakangnya, saat Gareth membayangkan semua hal yang mungkin tidak benar.

Tolong, jangan biarkan dia datang ke sini, Gareth berdoa untuk dirinya sendiri. Tolong. Aku akan melakukan apapun. Aku akan mengabaikan persekongkolan ini.

Ia merasakan telapak tangan kasar menepak punggungnya. Ia berputar dan melihat.

Orang kerdil bermata hitam dan tanpa perasaan itu menatap matanya.

“Kau tidak bilang kau punya rekan,”gerutu pria itu. “Atau apakah Anda seorang mata-mata?”

Pria itu mengulurkan tangan sebelum Gareth bisa bereaksi, dan menyentakkan jubah Gareth. Dia bisa melihat dengan baik wajah Gareth, dan matanya membelalak karena kaget.

“Yang Mulia Pangeran,” pria itu tergagap. “Apa yang Anda lakukan di sini?”

Sedetik kemudian, mata pria itu mengecil dengan curiga, dan ia menjawabnya sendiri. Dengan seringai kecil dan puas, menyatukan seluruh alur bersama-sama dengan sekejap. Ia sangat lebih pandai dari yang Gareth harapkan.

“Aku paham,” kata pria itu. “Ramuan ini – adalah untuk Anda, bukankah begitu? Anda berencana untuk meracuni seseorang, kan? Tapi siapa? Ya, itu adalah pertanyaanku…”

Wajah Gareth memerah dengan rasa cemas. Pria ini – ia terlalu cepta. Ini sudah terlambat. Seluruh dunianya telah terkuak di sekelilingnya. Firth telah mengacaukannya. Jika pria ini menyerahkan Gareth, ia akan dihukum mati.

“Ayah Anda, mungkin?” tanya pria itu, matanya berkilat dengan curiga. “Ya, pasti begitu, seharusnya begitu kan? Anda akan memberikannya. Ayah Anda. Anda berencana untuk membunuh ayah Anda.”

Gareth telah cukup. Tanpa ragu, ia melangkah maju, menarik belati kecil dari dalam jubahnya, dan menusukkannya ke dada pria itu. Pria itu terkesiap.

Gareth tidak ingin ada orang lewat yang menyaksikan ini, jadi ia menyambar jubahnya dan menariknya mendekat, sangat dekat, sampai wajah mereka hampir bersentuhan, sampai ia bisa mencium napasnya yang bau. Dengan tangannya yang bebas, ia mengulurkan tangan dan menyekap mulut pria itu sebelum dia bisa menjerit. Gareth merasakan darah panas pria itu mengucur di telapak tangannya, mengalir melalui jari-jarinya.

Firth muncul di sampingnya dan menjerit ngeri.

Gareth memegangnya seperti itu selama enam puluh detik; untungnya, tidak ada kepala yang menoleh dalam pasar yang sibuk ini, ke gang sempit ini. Ia menanggalkan jubahnya dan melemparkannya di atas tubuh tak bernyawa itu.

“Saya sangat menyesal, sangat menyesal, sangat menyesal,” Firth terus mengulangnya, seperti anak perempuan, menangis dengan histeris dan gemetar saat ia mendekati Gareth. “Apa Anda baik-baik saja? Apa Anda baik-baik saja?”

Gareth mengulurkan tangan dan menamparnya.

“Tutup mulutmu dan pergi dari sini,” desisnya.

Firth berbalik dan bersegera pergi.

Gareth bersiap pergi, tapi kemudian berhenti dan berbalik kembali. Ia mempunyai satu hal lagi untuk dilakukan: ia mengulurkan tangan, menyambar kantung koin dari tangan orang mati itu, dan mengikatkannya kembali di sabuknya.

Pria itu takkan memerlukannya.

BAB TIGA BELAS

Gareth berjalan cepat melalui jalan kecil di tengah hutan, Firth di sampingnya, kerudung kepala menutupinya untuk menghalau panas. Ia sulit menerima kenyataan bahwa sekarang ia sedang berada di tengah situasi yang sangat ia hindari. Sekarang ada sesosok mayat, sebuah jejak. Siapa yang tahu pada siapa orang itu bicara. Firth seharusnya lebih memperhitungkan kesepakatannya dengan pria itu. Kini, sebuah jejak tertinggal dan dapat mengarah kepadanya.

“Maafkan aku,” sahut Firth, mencoba berjalan cepat untuk menyusulnya.

Gareth mengacuhkannya, mempercepat langkahnya dengan penuh amarah.

“Apa yang sudah kau lakukan itu bodoh, dan lemah,” kata Gareth. “Kau seharusnya tidak mencampuri urusanku.”

“Aku tak bermaksud begitu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ia meminta lebih banyak uang.”

Firth memang benar; situasi saat itu memang genting. Pria itu hanya memikirkan dirinya sendiri, babi serakah yang mengubah aturan permainan dan layak untuk binasa. Gareth tak menangisi kematiannya. Ia hanya berharap tak ada seorang pun yang menyaksikan pembunuhan itu. Hal terakhir yang dibutuhkannya adalah sebuah jejak. Akan ada penyelidikan besar-besaran begitu pembunuhan ayahnya terjadi, dan ia tak akan membiarkan sebuah jejak kecil tertinggal.

Kini mereka sudah sampai di Blackwood. Matahari musim panas masih di langit, namun hampir gelap di sini, pepohonan ekaliptus yang tinggi menghalangi cahaya. Sama seperti suasana hatinya. Gareth membenci tempat ini. Ia terus berjalan menuruni jalan kecil, sesuai dengan petunjuk pria yang telah terbunuh olehnya. Ia berharap pria itu berkata jujur dan tak membuatnya tersesat. Semuanya bisa saja merupakan kebohongan. Atau sebuah jebakan untuknya, menuntunnya kepada seseorang yang sedang menanti untuk merampok uangnya.

Gareth mengutuki dirinya. Ia telah menaruh kepercayaan terlalu besar kepada Firth. Ia seharusnya menangani semua seorang diri. Seperti yang biasa dilakukannya.

“Lebih baik kau berharap jalan ini akan membawa kita pada si tukang sihir,” cela Gareth, “dan mudah-mudahan ia memiliki racunnya.”

Mereka terus berjalan menyusuri jalan kecil hingga sampai di sebuah persimpangan, persis seperti yang dikatakan pria itu. Rencananya berjalan mulus, dan Gareth merasa lega. Mereka berbelok kek kanan, mendaki sebuah bukit, dan menemui sebuah persimpangan lain. Petunjuk pria itu benar, dan di depan mereka sedang terhampar sebuah hutan tergelap yang pernah Gareth lihat. Pepohonan di situ luar biasa besar dan terkoyak.

Gareth berjalan memasuki hutan dan mendadak tulang belakangnya teras dingin, mungkin tengah merasakan iblis melayang di udara. Padahal hari masih siang.

Ketika ia mulai merasa takut, dan berpikir untuk kembali, jalan kecil di depannya berakhir di suatu tempat. Tempat itu terpapar sinar matahari yang menerobos masuk melalui pepohonan. Di bagian tengahnya terdapat sebuah pondok batu kecil. Pondok si tukang sihir.

Jantung Gareth berdebar lebih keras. Ia memasuki pekarangan dan melihat sekitar untuk memastikan tak seorang pun yang melihatnya, memastikan semua bukan jebakan.

“Kau lihat, ia mengatakan yang sebenarnya,” sahut Firth, kegembiraan dalam suaranya.

“Belum tentu,” cela Gareth. “Tetap di luar dan berjaga-jagalah. Ketuk pintu kalau ada siapapun yang datang. Dan tutup mulutmu.”

Gareth tak merasa perlu mengetuk pintu kecil melengkung di depannya. Ia meraih pegangan pintu besi, mendorong pintu setebal dua inci itu hingga terbuka, menundukkan kepala ketika ia masuk, dan menutupnya kembali.

Pondok itu gelap, hanya diterangi beberapa lilin yang tersebar di seluruh ruangan. Pondok itu hanya terdiri dari satu ruangan, tanpa jendela, terbungkus sebuah energi yang berat. Ia berdiri di sana, dicekam keheningan yang sangat, menyiapkan dirinya sendiri untuk segala kemungkinan. Ia dapat merasakan iblis di dalam sini. Dan itu membuatnya merinding.

Sebuah bayangan bergerak, disusul sebuah suara.

Sesosok wanita tua berjalan pincang mendekatinya, nampak renta dengan sebuah punuk di punggungnya. Ia memegang sebatang lilin, yang menyinari wajahnya yang penuh kutil dan kerutan. Ia tampak sangat tua, lebih tua dari pepohonan yang mengelilingi pondoknya.

“Kau mengenakan tudung kepala, bahkan dalam kegelapan,” sahutnya, menyunggingkan senyuman sinis. Suaranya terdengar seperti kayu yang berderit. “Tujuanmu jahat.”

“Aku datang untuk sebuah ramuan,” kata Gareth cepat, mencoba terdengar berani dan percaya diri, namun terdengar getaran dalam suaranya. “Akar Sheldrake. Seseorang mengatakan kau memilikinya.”

Ada sebuah kesunyian oanjang, diikuti dengan tawa terkekeh-kekeh yang menakutkan. Tawanya bergema ke seluruh ruangan.

“Apakah aku memilikinya atau tidak, bukan itu masalahnya. Pertanyaannya adalah: mengapa kau menginginkannya?”

Jantung Gareth berdebar ketika ia berusaha menyusun sebuah jawaban.

“Mengapa kau peduli?” tanyanya.

“Aku sangat ingin mengetahui siapa yang hendak kau bunuh,” katanya.

“Itu bukan urusanmu. Aku sudah membawa uang untukmu.”

Gareth merogoh ke dalam ikat pinggangnya, mengambil sekantung emas, dan kantung emas yang ia berikan pada lelaki yang telah mati, dan membantingnya ke meja kayu kecil di ruangan itu. Suara logam berdenting memenuhi ruangan.

Ia berdoa semoga itu memuaskan hatinya, bahwa ia akan memberikan apa yang diinginkannya dan ia segera meninggalkan tempat ini.

“Ini mungkin sudah cukup untuk membeli sikap diamku,” sahutnya.

Ia berbalik dan berjalan terpincang-pincang dalam kegelapan. Terdengar sebuah desisan, dan di samping sebuah lilin Gareth dapat melihat nenek sihir itu sedang mencampur cairan dalam sebuah botol kaca kecil. Ia meletakkan penyumbat di atasnya. Waktu seperti berjalan dengan lambat, dan Gareth menunggu dengan sangat tidak sabar. Berbagai keraguan berlarian dalam kepalanya: bagaimana jika ia ketahuan? Di sini, saat ini? Bagaimana jika wanita tua itu memberikan racun yang salah kepadanya? Bagaimana jika ia memberi tahu seseorang tentang dirinya? Apakah ia pernah mengenalnya? Ia tak bisa memastikannya.

Gareth telah menyiapkan segalanya untuk hal ini. Ia tak pernah tahu akan sesulit ini untuk membunuh seseorang.

Sesudah suatu keheningan yang nyaris tanpa akhir, tukang sihir itu kembali. Ia memberikan padanya sebuah botol ramuan, botol yang sangat kecil dan mudah disembunyikan dalam genggaman tangannya, lalu memunggunginya.

“Mengapa sedikit sekali?” tanyanya. “Dapatkah racun ini berfungsi?”

Tukang sihir itu tersenyum.

“Kau akan heran mengetahui betapa sedikitnya jumlah yang kau butuhkan untuk membunuh seseorang.”

Gareth berbalik dan berjalan menuju pintu, tiba-tiba dirasakannya jemari yang dingin mencengkeram bahunya. Ia tak tahu bagaimana ia bisa secepat itu melintari ruangan, dan hal ini membuatnya takut. Ia berdiri di sana, membeku, takut untuk berbalik dan memandang ke arahnya.

Tukang sihir itu memutar tubuh Gareth, mendekatinya – sebuah bau busuk tercium darinya – kemudian ia menggapai dengan kedua tangannya, memegang kedua pipi Gareth, dan menciumnya, menekan bibirnya yang keriput pada bibir Gareth.

Gareth memberotak. Itu adalah hal paling menjijikkan yang pernah terjadi padanya. Bibirnya terasa seperti bibir kadal. Lidahnya, yang dijulurkan ke arah Gareth, seperti lidah reptile. Ia mencoba mendorongnya, tapi ia mencengkeram wajahnya dengan erat, menariknya lebih kuat.

Akhirnya, ia berhasil membebaskan dirinya. Ia menyeka mulutnya dengan tangan, bersamaan dengan mundurnya wanita tua itu ke belakang dan tertawa terkikik-kikik.

“Memang sulit kalau kau baru pertama kali membunuh seseorang,” ujarnya. “Kau akan lebih mudah melakukannya lain waktu.”

*

Gareth melesat keluar dari pondok, menuju pekarangan dan melihat Firth berdiri di sana menunggunya.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Firth khawatir. “Kau terlihat seperti orang tertusuk. Apakah ia melukaimu?”

Gareth berhenti, sulit bernafas, menyeka mulutnya beberapa kali lagi. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab.

“Ayo tinggalkan tempat ini,” katanya. “Sekarang!”

Ketika mereka mulai meninggalkan pekarangan kembali ke hutan yang gelap, matahari tiba-tiba tertutup oleh awan yang sedang melintasi langit, membuat hari yang indah menjadi dingin dan gelap. Gareth tak pernah melihat sihir semacam itu, awan hitam yang mendadak muncul. Ia tahu apapun yang terjadi, semua itu janggal. Ia khawatir mengenai seberapa besar kekuatan si tukang sihir, ketika angin dingin berhembus di hari musim panas dan merangkak naik menyentuh bagian belakang lehernya. Ia berpikir bahwa tukang sihir itu telah menguasainya dengan ciuman itu, menjatuhkan semacam kutukan kepadanya.

“Apa yang terjadi di sana?” ungkit Firth.

“Aku tak ingin membicarakannya,” kata Gareth. “Aku tak ingin mengingat apapun tentang hari ini – tidak pernah.”

Keduanya bergegas berjalan, menuruni bukit, kemudian memasuki jalan kecil yang mengarah kembali ke Istana. Ketika Gareth merasa lebih lega, bersiap melupakan kejadian barusan dari ingatannya, tiba-tiba, ia mendengar beberapa derap langkah sepatu boot. Ia membalikkan tubuh dan melihat sekelompok pria berjalan menuju mereka. Ia nyaris tak percaya.

Adiknya, Godfrey. Si pemabuk. Ia berjalan menuju mereka, tertawa, dikelilingi oleh si berandal Harry dan dua teman pembuat masalah lainnya. Ia ingin sekali berlari menjauh dari adiknya. Di dalam hutan, di suatu tempat yang jauh. Gareth merasa seakan seluruh rencananya telah dikutuk.

Gareth membalikkan tubuhnya, menurunkan tudung kepala hingga menutupi seluruh wajahnya dan berjalan secepat mungkin, berdoa semoga adiknya tak mengenalinya.

“Gareth?” sapa sebuah suara.

Gareth tak punya pilihan lain. Ia berdiri mematung, menarik kembali tudung kepalanya, membalikkan tubuh dan menatap adiknya yang sedang berjalan riang ke arahnya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Godfrey.

Gareth membuka mulutnya, tapi kemudian menutupnya, bergumam, tak tahu apa yang harus ia ucapkan.

“Kami sedang jalan-jalan,” celetuk Firth, mencoba membantu Gareth.

“Jalan-jalan, benarkah?” salah seorang teman Godfrey mencemooh Firth dengan suara tinggi yang dibuat-buat. Semua temannya tertawa. Gareth tahu bahwa adiknya dan teman-temannya menertawakan orientasi seksnya yang menyimpang – tapi ia tak terlalu mempedulikan hal itu sekarang. Ia hanya perlu mengubah topik pembicaraan. Ia tak ingin mereka bertanya-tanya tentang apa yang ia lakukan di sini.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Gareth balas bertanya.

“Sebuah rumah minum baru dibuka di Southwood,” jawab Godfrey. “Kami baru saja mencobanya. Bir terbaik di seluruh kerajaan. Kau mau?” ia bertanya sambil menyorongkan sebuah kendi kecil.

Gareth menggelengkan kepala dengan cepat. Ia harus mengalihkan perhatiannya, dan mengganti topik pembicaraan adalah cara terbaik, yaitu dengan mengomelinya.

“Ayah akan sangat marah kalau ia tahu kau mabuk sepanjang hari,” kata Gareth. “Aku sarankan kau buang saja kendi itu dan segera kembali ke istana.”

Berhasil. Godfrey menatapnya tajam, dan terlihat jelas bahwa ia tak lagi berpikir soal Gareth, melainkan tentang ayahnya dan dirinya sendiri.

“Dan sejak kapan kau peduli terhadap kehendak Ayah?” hardiknya.

Gareth merasa cukup. Ia tak akan membuang waktunya bersama si pemabuk. Ia berhasil melaksanakan rencananya, mengacaukan perhatiannya, dan sekarang, semoga, adiknya tak mengira-ngira lebih jauh mengapa ia berada di hutan ini.

Gareth membalikkan tubuhnya dan mempercepat langkahnya di jalan kecil, bersama tawa mencemooh di belakangnya. Ia tak peduli. Sebentar lagi, dirinyalah yang tertawa paling akhir.

BAB EMPAT BELAS

Thor duduk di meja kayu, bekerja memisahkan busur dan anak panah. Di sampingnya duduk Reece, bersama dengan beberapa anggota Legiun yang lain. Mereka semua membungkuk di atas senjata mereka, bekerja keras mengukir busur dan mengencangkan talinya.

“Seorang ksatria tahu cara untuk mengencangkan busurnya sendiri,” pekik Kolk, saat ia berjalan di antara sederetan anak laki-laki, membungkuk, memeriksa pekerjaan masing-masing. “Tegangannya harus sangat tepat. Terlalu sedikit, dan anak panahmu tidak akan mencapai sasarannya. Terlalu banyak, dan sasaranmu tidak akan kena. Senjata rusak dalam pertempuran. Senjata rusak dalam perjalanan. Kalian harus tahu cara memperbaikinya ketika kalian menggunakannya. Ksatria terbaik juga adalah seorang pandai besi, tukang kayu, tukang sepatu, tukang reparasi segala hal yang rusak. Dan kalian tidak benar-benar mengetahui senjatamu sendiri sampai kalian telah memperbaikinya sendiri.”

Kolk berhenti di belakang Thor dan mencondongkan tubuh dari balik bahunya. Ia merenggut busur kayu dari genggaman Thor, dan tali busur itu melukai tangannya saat ia melakukannya

“Tali busur ini tidak cukup kencang,” tegurnya. “Ini bengkok. Gunakan senjata seperti ini dalam pertempuran, dan kau pasti akan mati. Dan rekanmu akan mati di sampingmu.”

Kolk membanting busur ke meja dan pergi; beberapa bocah lain mencibir. Thor memerah ketika ia meraih tali busurnya lagi, menariknya sekencang mungkin, dan membelitkannya di sekitar lengkungan busur. Ia telah mengerjakan ini selama berjam-jam, tugas yang melelahkan.

Sebagian besar dari yang lain sedang berlatih, bertanding, beradu pedang. Ia memandang dan di kejauhan ia melihat saudara-saudaranya, ketiganya, tertawa-tawa saat mereka mengelatakkan pedang-pedang kayu; seperti biasanya, Thor meresa mereka berada di atas angin saat ia tertinggal di belakang bayangan mereka. Ini tidak adil. Ia semakin merasa bahwa ia tidak diinginkan di sini, seolah-olah ia bukan anggota Legiun yang sesungguhnya.

“Jangan kuatir, kau akan bisa melakukannya,” kata O’Connor di sampingnya.

Telapak tangan Thor lecet karena berusaha; ia menarik tali busur sekali lagi, kali ini dengan semua kekuatannya, dan akhirnya, membuatnya terkejut, berhasil. Tali busur itu terpasang pada busur, Thor menarik dengan semua kekuatannya, bercucuran keringat. Ia merasakan sensasi kepuasan pada busurnya sekarang sekuat seharusnya.

Bayangan memanjang saat Thor menyeka dahinya dengan punggung tangannya dan bertanya-tanya berapa lama hal ini akan berlangsung. Ia memikirkan apa makna menjadi seorang ksatria. Dalam kepalanya, ia melihatnya secara berbeda. Ia hanya membayangkan berlatih, setiap saat. Tapi ia mengira ini juga suatu bentuk pelatihan.

“Ini juga bukan tujuanku mendaftar,” kata O’Connor, seolah-olah membaca pikirannya.

Thor menoleh, dan terhibur melihat temannya yang tetap tersenyum.

“Aku datang dari Provinsi Utara,” lanjutnya. “Aku, juga, memimpikan bergabung dengan Legiun sepanjang hidupku. Aku kira aku membayangkan pertandingan dan pertempuran yang konstan. Bukan semua tugas kasar ini. Tapi hal ini akan menjadi lebih baik. Ini hanya karena kau orang baru, ini adalah suatu bentuk permulaan. Nampaknya ada senioritas di sini. Kita juga yang paling muda. Aku tidak melihat mereka yang berusia sembilan belas tahun melakukan hal ini. Hal ini tidak akan berlangsung selamanya. Selain itu, ini adalah sebuah keterampilan yang berguna untuk dipelajari.”

Terompet berbunyi. Thor menoleh dan melihat sebagian dari Legiun berkumpul di samping dinding batu di tengah-tengah lapangan. Tali temali disampirkan di sepanjang dinding, berjearak tiap sepuluh kaki. Dinding itu semestinya tingginya tiga puluh kaki, dan yang bertumpuk di bawahnya adalah setumpukan jerami.

“Apa yang kau tunggu?” teriak Kolk. “CEPAT!”

Para anggota Perak muncul di sekeliling mereka, berteriak-teriak, dan sebelum Thor mengetahuinya ia dan yang lainnya melompat dari bangku-bangku mereka dan berlari menyeberangi lapangan ke dinding.

Tak lama, mereka semua berkumpul di sana, berdiri di depan tali. Ada sengatan kegairahan di udara saat semua anggota Legiun berdiri bersama-sama. Thor senang sekali akhirnya diikut sertakan dengan yang lainnya, dan ia mendapati dirinya mendekati Reece, yang berdiri dengan temannya yang lain. O’Connor telah bergabung dengan mereka.

“Kalian akan menemukan dalam pertempuran bahwa sebagian besar kota dibentengi,” gelegar Kolk, mengamati wajah-wajah para anak laki-laki. “Menerobos benteng adalah tugas prajurit. Dalam sebuah pengepungan biasa, tali dan jepitan besi digunakan, hampir seperti yang telah kita lemparkan melalui tembok ini, dan memanjat sebuah dinding adalah salah satu hal paling berbahaya yang akan kalian jumpai dalam pertempuran. Pada beberapa kasus akankah kalian lebih terpapar dan lebih rentan. Musuh akan menuangkan timah cair pada kalian. Mereka akan menembakkan anak-anak panah. Menjatuhkan batu. Kalian tidak memanjat dinding sampai waktunya sempurna. Dan saat kalian melakukannya, kalian harus memanjat demi hidupmu – atau kalau tidak berisiko mati.”

Kolk menarik napas dalam, lalu berteriak: “MULAI!”

Anak-anak di sekitarnya mulai beraksi, masing-masing menyerbu tali. Thor berlari ke tali yang bebas dan akan memegangbya saat seorang anak laki-laki yang lebih tua mencapainya lebih dulu, menyingkirkannya dari jalan. Thor berusaha dan meraih tali terdekat yang bisa ia temukan, untaian tali yang tebal dan bersimpul. Jantung Thor berdegup saat ia mulau berusaha menaiki dinding.

Hari itu berubah menjadi berkabut, dan kaki Thor terpeleset di batu. Tapi, ia bisa mengatasinya dengan baik dan terpaksa melakukannya tapi ia menyadari ia lebih cepat dari banyak anak-anak lain, hampir memimpin saat ia berusaha memanjatnya. Ia, untuk pertama kalinya hari ini, mulai merasa lebih baik, mulai merasakan sensasi kebanggaan.

Tiba-tiba sesuatu yang keras menampar bahunya. Ia melihat ke atas dan melihat para anggota Perak di puncak dinding, melemparkan batu-batu kecil, tongkat, segala macam puing-puing. Anak di samping tali Thor mengulurkan tangan dengan satu tangan untuk menghalangi wajahnya dan kehilangan pegangannya dan jatuh ke arah belakang, ke tanah. Ia jatuh dalam jarak sekitar

Thor juga kehilangan pegangannya, tapi entah bagaimana berhasil bertahan. Sebuah tongkat memanggilnya turun dan menyodok Thor dengan keras di punggung, tapi ia terus memanjat. Ia melakukannya dengan baik dan mulai berpikiran bahkan ia mungkin menjadi yang pertama sampai di puncak, saat tiba-tiba, ia merasakan tendangan keras pada rusuknya. Ia tidak bisa memahami dari mana asalnya, sampai ia menoleh dan melihat seorang anak laki-laki di sampingnya, berayun ke samping. Sebelum Thor bisa bereaksi, anak itu menendangnya lagi

Thor kehilangan pegangannya saat ini dan menemukan dirinya terlempar ke belakang, melewati udara, menggapai-gapai. Ia mendarat dengan punggungnya di jerami, terkejut tapi tidak terluka.

Thor memanjat dengan susah-payah menggunakan tangan dan lututnya, mengatur napas, dan melihat ke sekeliling. Semua di sekitarnya, jatuh seperti lalat dari tali, mendarat dalam jerami, menendang atau mendorong satu sama lain – atau jika tidak, lalu menendang anggota-anggota Perak di puncak. Mereka yang berlum terpotong talinya, jadi mereka muncul meruntuhnkan, juga. Tidak ada seorang anggota pun yang mencapai puncak.

“Berdiri!” teriak Kolk. Thor melompat berdiri, juga yang lainnya.

“PEDANG!”

Bocah-bocah it berlari ke salah satu rak besar dengan pedang-pedang kayu. Thor bergabung dengan mereka dan menyambar salah satu, terkejut karena beratnya. Beratnya dua kali lebih besar dari senjata apapun yang telah ia pegang. Ia hampir tidak bisa memegangnya.

“Pedang-pedang berat, mulai!” muncul suara.

Thor menoleh dan melihat keledai raksasa itu, Elden, seseorang yang telah lebih dulu menyerangnya saat ia bertemu Legiun. Thor mengingatnya dengan baik juga, karena wajahnya masih sakit akibat lebam yang diberikan Elden padanya. Ia meluncur ke arahnya, pedang terangkat tinggi, ekspresi kemarahan di wajahnya.

Thor mengangkat pedangnya di saat-saat terakhir tapi pedang itu sangat berat, ia hampir tidak bisa untuk menahannya. Elden, lebih besar dan lebih kuat, menggapai dan menendang Thor dengan keras di rusuknya.

Thor jatuh berlutut dengan kesakitan. Elden mengayunkan pedangnya lagi untuk menjatuhkannya dengan rasa sakit. Elden mengayunkan pedangnya lagi untuk memukul wajahnya, tapi Thor behasil menghindar dan menahan serangan itu dengan sekejap. Tapi Elden terlalu cepat dan kuat; ia mengayunkan pedangnya dan mengenai kaki Thor, mengalahkannya.

Sebuah kerumunan kecil berkumpul di sekeliling mereka, bersorak dan berteriak, sebagaimana pertarungan mereka menjadi pusat perhatian. Nampaknya mereka semua seolah-olah menjagokan Elden.

Elden datang dengan pedangnya lagi, membelah dengan keras, dan Thor berguling menghindar, serangan itu hampir mengenai punggungnya. Thor memiliki sekejap peluang dan mengambilnya – ia mengayunkannya dan mengenai keledai itu dengan keras di belakang lutut. Itu adalah titik lemah, dan cukup untuk memukulnya mundur, tersandung ke belakang.

Thor menggunakan kesempatan itu untuk berusaha berdiri. Elden bangkit, berwajah kemerahan, lebih berapi-api dari sebelumnya, dan sekarang keduanya berhadapan.

Thor tahu ia tidak bisa hanya berdiri di sana; ia menyerang dan mengayun. Tapi pedang latihan ini terbuat dari kayu yang aneh dan sangat terlalu berat; gerakannya terbaca. Elden menahannya dengan mudah, lalu menusuk Thor dengan keras di rusuknya.

Tusukan itu mengenai titik lemahnya, dan Thor terjatuh dan menjatuhkan pedangnya, angin telah melemparkannya.

Anak lain berteriak dalam kegembiraan. Thor terjatuh di sana, tanpa senjata, dan merasa ujung pedang Elden menekan dasar tenggorokannya.

“Menyerahlah!” desak Elden.

Thor membelalak padanya, rasa asin darah di bibirnya.

“Tak kan pernah,” katanya, menantang.

Elden nyengir, mengangkat pedangnya, dan bersiap untuk memukulkannya. Tidak ada apapun yang bisa Thor lakukan. Ia berada dalam jangkauan pukulan yang kuat.

Ketika pedang itu turun, Thor menutup matanya dan berkonsentrasi. Ia merasakan dunia melambat, merasa dirinya pindah ke dunia lain. Ia tiba-tiba merasa dapat merasakan ayunan pedang itu di udara, pergerakannya, dan ia menghendaki alam semesta mengehentikannya.

Yaş sınırı:
16+
Litres'teki yayın tarihi:
10 ekim 2019
Hacim:
323 s. 6 illüstrasyon
ISBN:
9781632910950
İndirme biçimi:
Interdisciplinary Research
John Atkinson и др.
Metin PDF
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 2 oylamaya göre
Metin PDF
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 3 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 4,8, 6 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 4,8, 6 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 1 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 5, 2 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre
Metin
Ortalama puan 0, 0 oylamaya göre